April 2017 - Majlis Takon

Hot

Post Top Ad

Rabu, 19 April 2017

Hukum Hewan Buruan Yang Didapatkan Dengan Senapan Angin

April 19, 2017 0
Hukum Hewan Buruan Yang Didapatkan Dengan Senapan Angin
Oleh: Fajar Nur Rohim



Berburu dalam agama Islam diperbolehkan, dan hasil buruannya boleh dimakan. Akan tetapi, kebolehannya tidak mutlak, tentunya jika telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Salah satu rukun berburu adalah alat yang digunakan untuk berburu. Para ulama telah mengklasifikasikan alat yang digunakan berburu ada dua macam. Pertama, benda-benda yang keras dan padat seperti pedang, panah, dan tombak. Kedua, hewan, seperti berburu menggunakan anjing. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/133 ).
Syarat-Syarat Alat yang Digunakan Berburu
Pertama, syarat benda-benda keras yang diperbolehkan untuk berburu:
1.     Harus tajam. Dapat menembus, melukai, dan memotong daging hewan buruan. Jika tidak maka hewan buruan tidak halal kecuali jika mampu untuk disembelih sebelum mati.  Tidak disyaratkan harus terbuat dari besi, bisa juga terbuat dari batu maupun kayu asalkan tajam.
2.     Harus yakin bahwa hewan buruan mati terluka karena terkena tajamnya alat yang digunakan berburu. Karena jika hewan buruan mati bukan karena luka yang disebabkan oleh alat buruan, maka hewan tersebut mati dalam keadaan bangkai dan haram untuk dimakan.
3.     Hanafiyah menambahkan syarat bahwa alat yang digunakan untuk berburu harus mengenai hewan buruan secara langsung, tidak boleh terjadi pantulan. Seperti tombak dilemparkan ke arah pohon agar memantul dan mengenai hewan buruan. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 28/133 dan Hasyiah Ibnu Abidin, 5/300 ).
Kedua, syarat hewan yang diperbolehkan untuk berburu:
Para ulama telah bersepakat bahwa hewan yang dibeperbolehkan untuk berburu adalah seluruh jenis anjing yang terlatih selain anjing hitam. Adapun hewan selain anjing yang terlatih, terjadi perbedaan pendapat diantara ulama, ada yang membolehkan dan ada pula mengharamkan. Diantara yang membolehkan adalah ulama madzhab Malikiyah, adapun Imam Mujahid mengharamkan seluruh hewan selain anjing untuk berburu kecuali burung Elang.
Adapun syarat hewan buruan hanya satu, yaitu harus terlatih. Hewan dapat dikatakan terlatih apabila dipanggil menjawab, diusir   (diganggu) menyerang, digonggongi menggonggong. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/368).
Ini merupakan gambaran berburu dimasa lampau. Adapun dimasa kini, mungkin sangat jarang didapatkan orang yang berburu menggunakan pedang, tombak, maupun panah. Dimasa kini berburu lebih sering dilakukan dengan menggunakan senapan angin. Lalu pertanyaannya, bagaimanakah hukumnya dan apakah hasil buruannya halal untuk dikonsumsi?.
Hukum berburu menggunakan senapan angin
Sebelum dibahas hukum berburu menggunakan senapan angin, perlu ditinjau terlebih dahulu, apakah peluru senapan angin tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang telah dipaparkan diatas, yaitu tajam yang mampu melukai dan mengoyak daging hewan buruan, serta hewan tersebut mati kerenanya, atau peluru tersebut tumpul, jika mengenai hewan buruan tidak mengoyak dagingnya tapi hanya melukai kulit luar hewan buruan karena kerasnya tembakan.
Jika pelurunya tumpul, apabila ditembakkan tidak menembus daging hewan buruan, akan tetapi hewan tersebut terluka karena kerasnya benturan peluru, maka para ulama telah bersepakat bahwa hukumnya adalah haram dan hasil buruannya tidak boleh dikonsumsi kecuali telah disembelih sembelum mati. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/135).
Lain halnya jika peluru senapan tersebut lancip. Para ulama telah menjelaskan sebagai berikut.
Pertama, ulama madzab Hanafiyah. Ibnu Abidin menjelaskan, tidak dihalalkan berburu menggunakan senapan atau batu dan yang sejenisnya meskipun dapat melukai hewan buruan. Karena hakikatnya luka tersebut hanya pada bagian luar kulit hewan, tidak menembus ke dagingnya. Apabila ujung pelurunya tajam, dengannya dapat menembus kulit dan daging, serta melukai hewan buruan, maka hal tersebut diperbolehkan. (Hasyiah Ibnu Abidin, 5/304).
Kedua, madzhab Malikiyah berpendapat tidak diperbolehkan berburu menggunakan senapan dan kayu, karena keduanya tidak dapat melukai hewan buruan, akan tetapi hanya meremukkan. (Hasyiyah ad-Dasuqi, 2/103).
Ketiga, madzhab Syafi’iyyah. Imam an-Nawawi menerangkan jika berburu dengan sesuatu yang keras dan berat serta tidak tajam seperti senapan dan pecut (cemeti), maka diharamkan untuk memakan hasil buruannya. (Mughni Muhtaj, 4/274).
Akan tetapi yang mu’tamad menurut madzhab Syafi’iyyah adalah jika dapat dipastikan hewan buruan tidak akan mati karena terkena tembakan, maka diperbolehkan seperti angsa. Akan tetapi jika sudah dipastikan hewan tersebut pasti akan mati, maka hal tersebut diharamkan seperti burung pipit.
Jika dicermati seluruh pendapat yang dipaparkan para ulama, intinya adalah bahwa senapan angin tersebut terpenuhi syarat-syarat untuk dijadikan alat berburu atau tidak. Jika terpenuhi syarat-syaratnya, seperti tajam atau lancip, dapat melukai dan menembus daging hewan buruan, maka dapat dianalogikan dan diperbolehkan digunakan untuk berburu.
Seandainya pun tidak terpenuhi syarat-syarat sebagai alat berburu, maka hasil buruanya tetap boleh dimakan apabila si pemburu masih sempat menyembelih hewan buruan yang ia tembak sebelum mati.
Rasulullah bersabda,
وَإِذَا رَمَيْتَ فَسَمَّيْتَ فَخَزَقْتَ فَكُلْ فَإِنْ لَمْ يَتَخَزَّقْ فَلا تَأْكُلْ وَلا تَأْكُلْ مِنْ الْمِعْرَاضِ إِلا مَا ذَكَّيْتَ وَلا تَأْكُلْ مِنْ الْبُنْدُقَةِ إِلا مَا ذَكَّيْتَ
“Apabila kamu  melemparnya, kemudian mengenai dan melukainya, maka makanlah buruan tersebut. Apabila ia tidak terluka maka janganlah kamu makan kecuali jika kamu sempat menyembelihnya. Begitu pula jangan kamu makan hasil buruan dengan tembak (senapan) kecuali telah kamu sembelih.” (HR. Ahmad, no. 19411).
Apabila peluru senapan tersebut terbuat dari timah yang dilontarkan dengan misiu, terjadi perbedaan pendapat pula dikalangan ulama. Akan tetapi yang lebih kuat dan dirajihkan menurut madzab Hanafiyah dan Syafi’iyyah adalah diharamkan. Sebagaimana yang diparkan oleh Ibnu Abidin, bahwa peluru timah yang dilontarkan dengan misiu, hakikatnya adalah membakar dan keras dengan lontaran misiunya, bukan karena tajamnya. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/136).


Read More

Apakah Merokok Membatalkan Puasa?

April 19, 2017 0
Apakah merokok membatalkan puasa?
Oleh : Ustadz Yusuf S

Jawab:
Alhamdulillahi Washalatullahi Washalamuhu ‘Alaa Rasulillahi Shallallahu Alaihi Wasallam.
Telah menjadi ijma’ ahlul ilmi, bahwa diantara pembatal puasa adalah memasukkan sesuatu ke dalam tubuh dengan sengaja (Minhaju al-Muslim, hlm. 242). Adapun bila dilakukan tanpa sengaja, atau karena tidak tahu tentang pembatal tersebut, maka tidak termasuk dalam pembatal puasa. ( Fathu al-Qarib al-Majid Syarh at-Taqrib, hlm. 43).
Kemudian muncul pertanyaan, apakah merokok membatalkan puasa? Jika itu merupakan pembatal puasa, maka menghisap asap knalpot, aroma wewangian dan yang semisalnya dapat membatalkan puasa?



Untuk menjawab pertanyaan ini, maka perlu kiranya mengetahui komponen dari asap rokok berikut:
1.     Asap rokok yang dihisap maupun yang dihirup masing-masing mempunyai dua komponen. Pertama, komponen berbentuk gas yang segera menguap. Kedua, komponen yang bersama gas terkondensasi menjadi komponen partikuat. Dengan demikian, asap rokok yang dihisap dapat berupa gas sejumlah 85%, dan sisanya berupa patikel yang mengendap.
2.     Merokok berarti memasukkan asap rokok ke dalam lubang tenggorokan dan lubang kerongkongan. Pakar kesehatan saluran cerna dari RSCM; dr. Ari Fahrial Syam, SpPDKGEH menyatakan bahwa tidak semua saluran asap rokok masuk ke saluran pernapasan ketika dihirup. Sebagian ada juga yang masuk ke lambung melalui kerongkongan, sehingga menimbulkan rasa begah atau kembung di perut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa merokok merupakan bagian dari pembatal puasa. Karena perokok dengan sengaja memasukkan sesuatu yang berbentuk zat ke dalam tubuhnya. Berbeda dengan menghirup asap knalpot, atau seorang yang berada di dekat orang yang merokok, maka hal itu tidak membuat puasanya batal, karena terjadi tanpa ada unsur kesengajaan. (Fiqih Islam Wa Adillatuhu, versi terjemahan, hlm. 99).
Alasan kenapa merokok termasuk perkara yang membatalkan puasa adalah karena asap rokok mengandung banyak zat yang bisa masuk sampai ke lambung dan perut. Sudah cukup jelas bahwa setiap sesuatu yang dengan sengaja masuk kedalam perut maka itu termasuk perkara yang membatalkan puasa, tidak terkecuali merokok.

Alasan lain kenapa merokok membatalkan puasa, sebab para ulama mengistilahkannya sebagai syurbu ad-dukhan (meminum asap), sehingga sangat jelas bahwa rokok termasuk perkara yang membatalkan puasa. Meski asap rokok tidak mengenyangkan, tetapi bisa disamakan dengan sesuatu yang dengan sengaja dimasukkan ke dalam perut. Sebab dengan kesengajaan inilah perbuatan itu bisa dinamakan makan dan minum. (Majmu’ Fatawa Ibnu Utsaimin, Fatawa Shiyam, no. 203 dan 204). Wallahu a’lam.
Read More

Hukum Air yang Terkena Air Musta'mal

April 19, 2017 0
Hukum Air yang Terkena Air Musta’mal
Oleh : Izzudin Hadidullah

Air yang kita gunakan untuk bersuci disyaratkan harus suci. Tidak ada kompromi di dalamnya. Tak berhenti disini, ia harus mensucikan. Di kalangan fuqoha (ahli fikih), air ini disebut sebagai air mutlak. Namun, bagaimana jadinya ketika air yang kita gunakan merupakan sisa dari pemakaian? Atau dalam istilah fikih dikenal dengan air musta’mal. Atau bagaimana hukum air mutlak yang terkena air sisa tersebut?
            Sebelum pada pokok pembahasan, terlebih dahulu perlu kita mengetahui apakah air musta’mal itu. Dalam kitab al-Muhadzab milik Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syairazi atau biasa dikenal Abu Ishaq asy-Syairazi disebutkan bahwa air musta’mal adalah sisa air dari pemakaian ibadah bersuci yang bersifat fardhu maupun sunnah. Beliau menyandarkan perkataan tersebut atas qoul jadid dari Allamah Imam asy-Syafi’i.
Spesifikasi air musta’mal juga dipaparkan oleh ulama Malikiyyah dengan gambaran berbeda.  Disebutkan bahwa air musta’mal adalah air yang dipergunakan dalam mengangkat hadats dan khabats[1]. Untuk melengkapi kriteria-kriteria yang dipaparkan sebelumnya, Abu Hanifah dan karibnya Abu Yusuf menggabungkan dengan mengisyaratkan; air musta’mal adalah air yang digunakan untuk menghilangkan hadats atau telah terpakai pada badan karena ibadah. Kemudian ulama’ Hanabilah memberikan persyaratan yang lain yaitu tidak merubah sifat dzat air[2]. Jadi dapat disimpulkan bahwa air musta’mal adalah sisa air pemakaian dalam membersihkan hadats, khabats serta pemakaian ibadah tertentu dengan tanpa mengubah sifat dzatnya.
            Adapun hukum air mutlaq yang terkena air musta’mal memiliki perincian yang sesuai pendapat para ulama madzhab yang empat. Ulama Hanabilah dalam menerangkan hal ini menyebutkan; ketika air musta’mal tercampur dengan yang semisal maka hukumnya tetap, yaitu makruh[3]. Barulah berubah ketika air tersebut melebihi kadar 2 qullah[4], karena dengan kadar air tersebut mampu menghilangkan dzat najis dan baiknya dipergunakan. Lain halnya ketika tidak melebihi 2 qullah, ketika campuran air musta’mal tersebut memiliki kadar yang ringan maka boleh digunakan tanpa ada pengaruh apapun. Namun, hukum dapat berubah ketika air musta’mal dominan dan mempengaruhi sifat asli dari air mutlak. Hal ini serupa dengan hukum air mutlak yang terkena benda-benda suci lainnya[5].
Syaikh ad-Dumuqi al-Maliki dalam Hasyiah-nya memberikan pendapat yang berbeda, dengan ungkapan, “Hukumnya makruh ketika ada air selainya, adapun ketika tidak ada yang lain maka bukan termasuk hal yang makruh. Sebagaimana tidak ada hukum makruh pada tuangan air musta’mal yang berkadar ringan pada air mutlak. Meskipun juga ketika air musta’mal dengan kadar yang serupa bahkan berlebih. Karena hukum bagian seperti hukum keseluruhan”[6].
Dari ungkapan diatas dapat disimpulkan bahwa air musta’mal suci dan mensucikan. Madzhab Malikiyyah juga memperbolehkan pemakaiannya dalam mengangkat najis dan membersihkan bejana. Namun me-makruh-kan ketika dipergunakan unutk menghilangkan hadats dan mandi-mandi sunnah.
            Madzhab Hanafi menghukumi air musta’mal sebagai air yang tidak dapat mensucikan hadats maupun khabats[7]. Akan tetapi, air musta’mal menurut madzhab Hanafi memiliki kriteria yang rinci. Berkaitan dengan air yang terkena air musta’mal, dijelaskan bahwa ketika 3 sifat air mutlak masih nampak, maka hukumnya tetap serupa dengan air mutlak. Ringkasnya, air yang sifatnya dominan, maka dihukumi denganhukum air tersebut.[8]
            Dalam menghukumi air mutlak yang terkena air musta’mal, madzhab Syafi’iyyah  dalam kitab al-Mughni al-Muhtaj milik Imam Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini menerangkan: “Ketika air musta’mal bercampur dengan air baru (mutlak) dan melebihi kadar 2 qullah maka pendapat yang benar adalah suci dan mensucikan. Karena air najis lebih berat dibanding hukum air musta’mal. Dan air yang bercampur najis-pun ketika telah melebihi kadar 2 qullah atau tidak merubah sifat air mutlak maka jelas suci mensucikan.”

Referensi:
1.  مغني المحتاج شرح منهاج الطالبين1/ 21ط دار الفكر
فَإِنْ جُمِعَ الْمُسْتَعْمَلُ عَلَى الْجَدِيدِ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ فَطَهُورٌ فِي الأَصَحِّ لأَنَّ النَّجَاسَةَ أَشَدُّ مِنَ الاسْتِعْمَالِ ، وَالْمَاءُ الْمُتَنَجِّسُ لَوْ جُمِعَ حَتَّى بَلَغَ قُلَّتَيْنِ أَيْ وَلا تَغَيُّرَ بِهِ صَارَ طَهُورًا قَطْعًا ، فَالْمُسْتَعْمَلُ أَوْلَى ، وَمُقَابِلُ الأَصَحِّ لا يَعُودُ طَهُورًا لأَنَّ قَوَّتَهُ صَارَتْ مُسْتَوْفَاةً بِالاسْتِعْمَالِ فَالْتَحَقَ بِمَاءِ الْوَرْدِ وَنَحْوِهِ وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنُ سُرَيْجٍ
2.  حاشية الدسوقي على الشرح الكبير الناشر: دار الفكر  ( 1/41 )
قَالَ الدُّسُوقِيُّ : وَالْكَرَاهَةُ مُقَيَّدَةٌ بِأَمْرَيْنِ : أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ قَلِيلا كَآنِيَّةِ الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ ، وَأَنْ يُوجَدَ غَيْرُهُ ، وَإِلا فَلا كَرَاهَةَ ، كَمَا أَنَّهُ لا كَرَاهَةَ إِذَا صُبَّ عَلَى الْمَاءِ الْيَسِيرِ الْمُسْتَعْمَلِ مَاءٌ مُطْلَقٌ غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ ، فَإِنْ صُبَّ عَلَيْهِ مُسْتَعْمَلٌ مِثْلُهُ حَتَّى كَثُرَ لَمْ تَنْتَفِ الْكَرَاهَةُ لأَنَّ مَا ثَبَتَ لِلأَجْزَاءِ يَثْبُتُ لِلْكُلِّ
3.  البحر الرائق شرح كنز الدقائق الناشر: دار الكتاب الإسلامي (1/73)
وَإِنْ كَانَ مَائِعًا مُوَافِقًا لِلْمَاءِ فِي الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ كَالْمَاءِ الَّذِي يُؤْخَذُ بِالتَّقْطِيرِ مِنْ لِسَانِ الثَّوْرِ وَمَاءِ الْوَرْدِ الَّذِي انْقَطَعَتْ رَائِحَتُهُ وَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ عَلَى الْقَوْلِ الْمُفْتَى بِهِ مِنْ طَهَارَتِهِ إذَا اخْتَلَطَ بِالْمُطْلَقِ فَالْعِبْرَةُ لِلْأَجْزَاءِ فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ أَكْثَرَ جَازَ الْوُضُوءُ بِالْكُلِّ، وَإِنْ كَانَ مَغْلُوبًا لَا يَجُوزُ، وَإِنْ اسْتَوَيَا لَمْ يُذْكَرْ فِي ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ.
4.  الكافي في فقه الإمام أحمد الناشر: دار الكتب العلمية (1/36)
فإن اجتمع نجس إلى نجس، فالجميع نجس وإن كثر؛ لأن اجتماع النجس إلى النجس لا يتولد بينهما طاهر، كالمتولد بين الكلب والخنزير، ويتخرج أن يطهر إذا زال التغير، وبلغ القلتين، لما ذكرناه، وإن اجتمع مستعمل إلى مثله، فهو باق على المنع، فإن اجتمع إلى طهور يبلغ قلتين، فالكل طهور؛ لأن القلتين تزيل حكم النجاسة، فالاستعمال أولى، فإن اجتمع مستعمل إلى طهور دون القلتين، وكان المستعمل يسيراً، عفي عنه؛ لأنه لو كان مائعاً غير الماء، عفي عنه، فالمستعمل أولى وإن كثر؛ بحيث لو كان مائعاً غلب على أجزاء الماء، منع كغيره من الطاهرات.





[1] Muhammad bin Ahmad bin Arofah ad-Dumuqi al-Maliki, Hasyiah ad-Dumuqi ala asy-Syarhil al-Kabir. Dar el-fikr (1/41).
[2] (الماء طهور لا ينجسه شيء إلا ما غيَّر طعمه أو لونه أو ريحه) (لا يغتسل أحدكم في الماء الدائم وهو جنب) (سبحان الله! إن الماء لا يجنب)
[3] «وَلِأَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى أَنْ يَغْمِسَ الْقَائِمُ مِنْ نَوْمِ اللَّيْلِ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ غَسْلِهَا.»
[4] «إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا.»
[5] Abu Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi; al-Kafi fii fiqh al-Imam Ahmad, dar el-kutub ilmiyyah.
[6] Muhammad bin Ahmad bin Arofah ad-Dumuqi al-Maliki; Hasyiah ad-Dumuqi ala asy-Syarhul al-Kabir. Dar el-fikr (1/41).

[7] Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani; Badai’us Shonai’ fii Tartiibi Syaroi’, Dar el-kutub ilmiyyah (1/66).
[8] Zainudin bin Ibrahim bin Muhammad al-Mishri; al-Bahur ar-Roqoiq syarkh Kanzu ad-Daqoiq, dar el-kutub islamiyyah.
Read More

Sabtu, 15 April 2017

Hukum Qishas Menggunakan Api

April 15, 2017 1

HUKUM QISHASH MENGGUNAKAN API
Oleh: Fajar Nur Rohim
Qishash adalah menghukum pelaku kejahatan pembunuhan atau kekerasan fisik berupa pemotongan anggota tubuh atau melukai yang dilakukan secara sengaja, dengan bentuk hukuman yang sama seperti yang diperbuat pelaku terhadap korban.
Pensyariatan qishash merupakan bentuk perhatian Islam terhadap hak seorang hamba secara khusus dan seluruh elemen masyarakat secara umum. Secara pengertian, pelaksanaan qishash seharusnya memang dilakukan sesuai dengan tindakan pelaku terhadap korban, jika pelaku membunuh korban dengan memenggal kepalanya menggunakan pedang, maka hukuman qishash kepada pelaku juga dilaksanakan dengan memenggal kepalanya menggunakan pedang. Akan tetapi, yang menjadi polemik adalah jika pelaku membunuh korban dengan api. Apakah hukuman qishash juga harus dilaksanakan dengan api? Padahal dalam sebuah hadits disebutkan larangan membunuh dengan api.




Perbedaan Pendapat Diantara Para Ulama
Pertama, ulama madzhab Hanafiyyah dan Hambali berpendapat bahwa pelaku pembunuhan tidaklah diqishash kecuali dengan dipenggal kepalanya menggunakan pedang. (Abu Bakar bin Mas’ud al-Kassani, Badai’u al-Shanai’, 7/245 dan Ibnu Qudamah, al-Mughni, 7/675). Argumen mereka adalah hadits:
لا قَوَدَ إِلا بِالسَّيْفِ
“Tidak ada pelaksanaan qishash kecuali dengan menggunakan pedang.” (HR. Ibnu Majah).
Yang dimaksud pedang disini adalah seluruh senjata secara mutlak, bisa berupa pisau ataupun belati. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 33/273).
Kedua, ulama madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyah berpendapat terpidana hukuman qishash dieksekusi dengan cara yang sama dengan cara pembunuhan yang ia lakukan terhadap korban. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 6/266). Jika pelaku membunuh korban dengan pedang, maka ia diqishash dengan pedang, jika pembunuhan dilakukan dengan api, maka diqishash dengan api. (Ibnu Rusyd, al-Bidayah wa an-Nihayah, 2/330).
Demikian pula dengan sebagian riwayat madzab Hanabilah bahwa hukuman qishash dilaksanakan dengan cara yang sama dengan apa yang dilakukan pelaku untuk membunuh korban. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 33/272). Landasan pendapat mereka adalah firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (QS. an-Nahl: 126).
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
“Barangsiapa yang menganiaya kamu, balaslah ia dengan balasan yang sama dengan penganiayaan yang dilakukan terhadapmu.” (QS. al-Baqarah: 194).
Rasulullah juga bersabda:
مَنْ حَرَقَ حَرَقْنَاهُ وَمَنْ غَرَقَ غَرَقْنَاهُ
“Barangsiapa yang membakar, kami akan membakarnya. Dan barangsiapa yang menenggelamkan, maka kami akan menenggelamkannya.” (HR. al-Baihaqi).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga disebutkan bahwa Rasulullah pernah meremukkan kepala orang Yahudi sebagai bentuk qishash atas pembunuhan yang ia lakukan kepada seorang budak wanita dari Anshar dengan menggunakan batu.
Secara logika, qishash maknanya adalah mumatsalah (kesepadanan) dalam tindakan. Oleh karenanya, qishash harus dilaksanakan terhadap pelaku pembunuhan dalam bentuk yang sama dengan tindakan yang ia lakukan terhadap korban. Yang demikian selaras dengan hikmah disyariatkannnya qishash; mengambil balas dendam; mengobati luka hati wali korban dan meredam amarah mereka. Sedangkan semua hikmah tersebut tidak akan tercapai kecuali jika pelaksanaan qishash harus sepadan dan setara dengan perbuatan yang dilakukan pelaku terhadap korban.
Akan tetapi, apabila wali korban menghendaki pelaksanaan qishash menggunakan pedang,  maka itu diperbolehkan dan lebih utama. Sebagai bentuk keluar dari sesuatu yang masih diperselisihkan menuju kepada sesuatu yang telah disepakati. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 6/266).
Dalam polemik ini, tentunya yang lebih utama adalah mengambil pendapat yang paling sesuai dengan maqashid syari’ah demi tercapainya maslahat dan terhindarnya madharat. Wallahu a’lam.


Read More

Kamis, 13 April 2017

Hukum Air Kencing Bayi

April 13, 2017 0

Hukum Air Kencing Bayi
Oleh: Umar Abdul Aziz

Sebelum membahas masalah air kencing bayi, hendaknya diperinci terlebih dahulu, berapa umur bayi tersebut dan apa jenis kelaminnya. Hal ini dibedakan karena para ulama madzhab berbeda-beda pula dalam menghukumi air kencing tersebut. Berikut perinciannya:



Bayi Yang Sudah Mengkonsumsi Makanan Selain ASI
Para ulama bersepakat bahwa air kencing dari bayi yang sudah mengkonsumsi makanan selain dari ASI, maka hukumnya adalah seperti air kencing orang dewasa. Sehingga dihukumi najis dan untuk menghilangkannya harus dicuci.
Bayi Yang Hanya Mengkonsumsi ASI
Berbeda halnya ketika bayi tersebut hanya makan dari ASI sang ibu, maka ulama berselisih dalam menghukumi kenajisannya. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa setiap air kencing dan muntahan bayi laki-laki (berumur di bawah  2 tahun) yang tidak makan selain ASI (tidak pula ditahnik dengan kurma ketika lahir), maka cukup diperciki dengan air pada bagian yang terkena kencing. Adapun untuk bayi perempuan, maka harus mencucinya sebagaimana mencuci benda yang terkena najis.
Dalil pendapat ini adalah hadits berikut:
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
“Dari Ummi Qois binti Mihson, bahwasanya beliau datang bersama anak lelakinya yang belum makan makanan kepada Rasulullah. Beliau pun memangku bayi tersebut, kemudian si bayi mengencingi pakaian beliau. Rasulullah hanya meminta air kemudian memercikinya (pakaian yang terkena kencing) dan tidak mencucinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian hadits di atas dikhususkan dengan hadits hasan yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi:
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Air kencing bayi perempuan adalah dengan mencucinya, dan air kencing bayi laki-laki adalah dengan memercikinya.”
Dari kedua hadits diatas, ulama Syafiiyah dan Hanabilah mencukupkan dengan percikan pada tempat yang terkena air kencing bayi lelaki, bahkan Ibnu Hazm dari ulama Dhahiry juga sependapat dengan pendapat ini.
Alasan Dibedakannya Status Air Kencing
Berikut ini alasan dibedakannya hukum dari keduanya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah bin Abdurrahman bin Sholih Alu Bassam dalam Taisir al-Alam Syarhu al-Umdatu al-Ahkam, 1/64-66:
1.   Bayi lelaki memiliki suhu panas yang lebih tinggi dari perempuan, sehingga dapat menguapkan olahan makanan yang hanya berupa ASI. Walhasil, air seni pun tidak terlalu bau (menyengat). Sedangkan perempuan, mereka tidak memiliki suhu panas sebagaimana lelaki, sehingga air seninya lebih bau dan pekat.
2.   Bayi lelaki biasanya lebih disenangi oleh manusia dari pada bayi perempuan, sehingga, lebih sering dibawa. Hal ini menimbulkan kesusahan bagi manusia jika mengharuskan mencuci bekas ompolnya setiap kali bayi kencing. Sehingga, kesusahan ini menimbulkan sebuah kemudahan (المشقة تجلب التيسير).
Namun, sebagian ulama memandang bahwa perkara ini ialah perkara taabbudy (ibadah) yang hikmah darinya tidak bisa diperkirakan oleh akal.
Pendapat lain berasal dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Mayoritas ulama kedua madzhab ini menghukumi najis pada semua air kencing dan muntahan, baik lelaki ataupun perempuan. Sehingga wajib dicuci sebagaimana mencuci benda najis lainnya. Pendapat ini bersandar kepada keumuman sebuah hadits tentang perintah untuk bersuci setelah buang air kecil. Abu Hurairah berkata bahwasanya Rasulullah bersabda:
«اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ الْبَوْلِ، فَإِنَّ عَامَةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ»
 “Bersucilah dari air kencing, karena kebanyakan adzab kubur disebabkan karena air kencing.”
Kesimpulan
Menurut Dr. Wahbah Zuhaily dalam Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (1/268) menguatkan pendapat ulama Syafiiyah dan Hanabilah yang mencukupkan dengan memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki. Karena, dalil mereka lebih kuat dari pada dalil Hanafiyyah dan Malikiyah yang bersifat umum.

Ulama Malikiyah memang menghukumi najis semua air seni bayi. Namun, terdapat pengecualian, mereka berpendapat jika air seni seorang bayi lelaki dan perempuan yang hanya makan ASI mengenai pakaian ataupun kulit seorang ibu atau pengasuh bayi, maka semua itu adalah perkara yang dimaafkan. Hal tersebut berlaku jika terdapat usaha sebelumnya untuk menghindarinya. Adapun, bila kelihatan kotor disunahkan untuk mencucinya. (Wahbah az-Zuhaily, Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, hlm. 1/268). Wallahu a’lam bissowab.
Read More

Selasa, 11 April 2017

Merokok Membatalkan Wudhu ?

April 11, 2017 0
MEROKOK MEMBATALKAN WUDHU?
Oleh: Mush’ab Mudhoffar

Agama Islam tidaklah melarang kepada suatu hal kecuali didalamnya pasti terdapat bahaya atau keburukan. Oleh sebab itu, Allah Ta’ala mengharamkan hal-hal yang buruk dan menghalalkan hal-hal yang baik. Firman-Nya surah al-A’raf: 157:
وَيَحِلُّ لَهُمُ الطَّيِّبَاتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيْهُمُ الْخَبَائِثَ
“Menghalalkan segala yang baik bagi mereka, dan mengharamkan segala yang buruk bagi mereka.” (QS. al-A’raf: 157).
Rasulullah sendiri juga melarang suatu perbuatan yang menimbulkan madharat (bahaya), beliau bersabda:  
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
“Tidak boleh menimpakan kemudharatan pada diri sendiri dan membuat kemudharatan bagi orang lain.” (HR Malik, no. 1641).
Adapun rokok, meskipun tidak ada dalil secara sharih (jelas) menyebutkan keharamannya, tapi rokok mengandung banyak bahaya, baik secara syar’i maupun medis. Sehingga, bahaya yang terkandung dalam rokok ini menjadi perbincangan para ulama fikih serta melahirkan perbedaan pendapat di kalangan mereka.
Mengenai hukum rokok, ulama fikih terpecah menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang mengharamkan. Kedua, kelompok yang membolehkan. Ketiga, kelompok yang memakruhkan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 10/101).
Apakah Membatalkan Wudhu?
Dalam salah satu fatwa yang dikeluarkan oleh Lajnah ad-Daimah, disana disebutkan bahwa merokok itu hukumnya haram. Namun, bagi siapa yang masih merokok hendaknya mencuci mulutnya terlebih dahulu ketika hendak pergi ke masjid. Agar bau tidak sedap yang ditimbulkannya hilang. Sekaligus mencegah dampak negatif darinya yaitu mengganggu orang yang sedang sholat. Akan tetapi, merokok tidaklah membatalkan wudhu. (Syaikh Ahmad Bin Abdurrozak Ad-Dausyi, Fatawa al-Lajnah ad-Daimah Li al-Buhuts al-Ilmiyah Wa al-Ifta’, 5/309).
Meskipun tidak membatalkan wudhu, tetapi merokok termasuk sesuatu yang khobits (kotor dan buruk). Dan segala sesuatu yang khobits dilarang oleh Allah untuk dikonsumsi. Terlebih bila berwudhu untuk sholat. Bau mulut yang ditimbulkan sehabis merokok dapat mengganggu datangnya para malaikat. Sebab, malaikat pun juga ikut terganggu dengan sesuatu yang dapat mengganggu manusia. Dari Jabir radhiallahu ‘anhu bahwa Rasulullah bersabda:
مَنْ أَكَل الْبَصَل وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلاَ يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا، فَإِنَّ الْمَلاَئِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَم
“Barangsiapa makan bawang merah dan putih serta bawang bakung, janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat pun juga ikut terganggu dengan sesuatu yang mengganggu manusia.” (HR Muslim, no. 1254).
Dalam koteks ini, merokok diqiyaskan (dianalogikan) dengan makan bawang karena sama-sama memiliki aroma yang tidak sedap. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, 10/108).
Manfaat yang ada pada rokok tak sebanding dengan bahaya yang ditimbulkannya. Dalam Al-Qur’an dan As-sunnah pun sudah terdapat larangan untuk menghindari bahaya.  Sehingga, sesuatu yang membahayakan lebih baik untuk ditinggalkan. Wallahu a’lam bishshawab.



Read More

Hukum Berbicara Ketika Berwudhu

April 11, 2017 0

HUKUM BERBICARA KETIKA BERWUDHU
Oleh: Eko Yulianto
Berbicara ketika wudhu merupakan suatu hal yang terkadang banyak dilakukan oleh sebagian orang. Baik karena keperluan atau pun hanya sebatas percakapan singkat dengan orang lain. Adapun berwudu adalah suatu bentuk ibadah yang dilakukan dengan membasuh anggota bagian tubuh secara khusus berdasarkan ketentuan tertentu. Oleh karenya kita perlu memperhatikan hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika berwudhu.


Salah satunya yang terkadang dilakukan ketika berwudhu ialah berbicara. Mengenai hal ini beberapa ulama telah menjelaskan hukumnya. Diantaranya Abi Birkat Ahmah bin Muhammad bin Ahmad ad-Dardir; seorang Ulama Malikiyah menjelaskan bahwa berbicara ketika wudhu selain ucapan dzikir kepada Allah, hukumnya adalah makruh. Imam Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam berwudhu, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي , وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِي , وَبَارِكْ لِي فِي رِزْقِي , وَقَنِّعْنِي بِمَا رَزَقْتَنِي وَلا تَفْتِنِّي بِمَا زَوَيْت عَنِّي
“Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah bagiku urusan dunia dan akhirat, berkahilah rizkiku, cukupkanlah aku atas apa yang telah Engkau rizkikan kepadaku, dan jangan Engkau jerumuskan aku dari apa-apa yang telah Engkau jauhkan dariku.” (asy-Syarh ash-Shogir ‘Ala Aqrob al-Masalik Ila Madzab Imam Malik, 1/127).
Selain itu, Dr. Wahbah Zuhaili juga menyebutkan bahwa salah satu adab berwudhu ialah tidak berbicara ketika berwudhu kecuali dalam keadaan darurat (mendesak). Karena hal itu akan memalingkan seseorang dari doa-doa yang sering diucapkan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. (al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu, 1/251).

Adapun menurut ulama empat madzab, Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa disunahkan untuk meninggalkan hal itu, keculai ada kepentingan. Sedangkan menurut Malikiyah dan Hanabilah hukumnya adalah makruh, makruh yang dimaksud oleh Hanabilah hanya sebatas meninggalkan keutamaan, adapun Malikiyah, hukumnya makruh selain dzikir kepda Allah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Quwaitiyah, 43/373).
Read More

Post Top Ad