Hukuman Bagi Orang Yang Menikahi Ibu Kandung
Oleh : Muhammad Ma’shum
Para ulama telah
sepakat akan keharaman menikahi ibu atau wanita yang telah dinikahi ayahnya. Dalilnya
adalah firman Allah Ta’ala:
وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ
آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً
وَمَقْتاً وَسَاءَ سَبِيلاً
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan
yang telah dinikahi ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh
perbuatan itu sangan keji dan dibenci (oleh Allah) serta seburuk-buruk jalan
(yang ditempuh).” (QS. an-Nisa: 22).
Dalil lainnya,
firman Allah ‘Azza wa Jalla:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ
أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu.” (QS. an-Nisa: 23).
Menikahi mahram
(termasuk ibu, nenek, anak dan saudara perempuan) merupakan nikah yang bathil
menurut ijma, maka jika ia menggaulinya wajib atasnya hukum had, ini merupakan
pendapat kebanyakan para ulama, seperti al-Hasan, Jabir bin Zaid, Malik,
Syafi’i, Abu Yusuf, Muhammad, Abu Ayub, Ibnu Abi Khaitsamah.
Sedangkan Abu Hanifah
dan ats-Tsauri berpendapat tidak ada had atasnya, dikarenakan adanya syubhat,
maka jika ada syubhat tidak wajib had atasnya. Syubhatnya yaitu adanya sifat
yang (pada hukum asalnya) dibolehkan yaitu akad nikah. (al-Mughni,
12/341).
Namun pendapat ini
dibantah, bahwa menggauli wanita yang sudah menjadi ijma’ atas keharamannya,
maka orang yang menggaulinya berhak mendapatkan had dan jika ia mengetahui
keharamannya, maka wajib had atasnya baik ada dan tidak adanya akad nikah
sebelum menggaulinya. Syubhat dalam akad nikah hanya berlaku ketika akad nikah
yang dilakukan sah. Sementara akad nikah pada kasus ini adalah akad nikah yang
batal lagi terlarang sehingga tidak bisa dikatakan syubhat. Ini merupakan bantahan yang dikemukan oleh
Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (12/342).
Jenis Hukum Had yang Diberlakukan
Para ulama berbeda pendapat apakah hukuman bagi
orang yang menikahi atau menzinai ibu atau muhrimnya. Menurut jumhur hukumannya
dirajam jika ia orang yang muhshon (sudah menikah) dan dijilid jika ia belum
muhshon. Mereka bedalil dengan keumuman dalil tentang zina.
Mereka
berpendapat hadits yang menjelaskan dibunuhnya orang yang menikahi wanita yang
dinikahi ayahnya adalah jika ia menyakini kehalalannya sehingga ia telah dihukumi
murtad yang halal darah dan hartanya.
Pendapat
yang kedua merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah
juga murid beliau Ibnu Qoyyim yaitu hukumannya dibunuh secara mutlak baik
muhshan atau tidak. Ibnu Qoyyim mengatakan, “Ini pendapat yang shahih, yang
sejalan dengan perintah Nabi.” (Zadu al-Ma’ad, 5/14).
Mereka
berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan an-Nasai dari Barro’
bin ‘Azib ia berkata, “Saya berjumpa dengan paman saya dan ia membawa bendera,
maka saya menanyakan akan hal tersebut, maka beliau menjawab, ‘Saya diutus
Rasulullah mendatangi laki-laki yang menikahi wanita bapaknya (istri bapaknya)
maka saya diperintahkan menebas lehernya dan mengambil hartanya.”
Menurut
Syaikh Hamad bin Abdullah al-Hamd dalam kitab Syarhu Zadi al-Mustaqni’ (17/28,
versi Maktabah Syamilah) pendapat yang rajih adalah pendapat yang kedua, tidak
diragukan lagi bahwa terdapat perbedaan yang jelas berzina dengan wanita bukan
mahram dengan wanita yang mahram.
Syaikh
Utsaimin mengatakan ketika ditanya apakah orang yang menikahi wanita yang
dinikahi ayahnya diambil hartanya? Beliau menjawab, “Perkataan apa ini? Orang
yang menikahi wanita yang dinikahi ayah dan ia mengetahui akan keharamannya
maka dirajam walaupun ia seorang yang belum menikah sebagaimana tertera dalam hadits.
Namun, hartanya tidak diambil, karena hukuman tersebut adalah had bukan karena
kekufaran.” (Fatawa Tsulatsiyah, hlm. 49, versi Maktabah Syamilah).
Kesimpulan
Jumhur ulama berpendapat orang yang menikahi ibu
atau wanita yang dinikahi ayahnya maka wajib mendapakan hukuman had, sedangkan
untuk jenis hukuman yang diberlakukan menurut Syaikh Hamad bin Abdullah al-Hamd
bahwa pendapat yang rajih adalah dibunuh atau dirajam dan tidak boleh mengambil
hartanya kecuali ia jika menghalalkan perbuatan tersebut, karena berzina dengan
mahramnya jauh lebih keji dan menjijikkan dari pada berzina dengan wanita
selain mahram.Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar