Hukum Air yang Terkena Air Musta'mal - Majlis Takon

Hot

Post Top Ad

Rabu, 19 April 2017

Hukum Air yang Terkena Air Musta'mal

Hukum Air yang Terkena Air Musta’mal
Oleh : Izzudin Hadidullah

Air yang kita gunakan untuk bersuci disyaratkan harus suci. Tidak ada kompromi di dalamnya. Tak berhenti disini, ia harus mensucikan. Di kalangan fuqoha (ahli fikih), air ini disebut sebagai air mutlak. Namun, bagaimana jadinya ketika air yang kita gunakan merupakan sisa dari pemakaian? Atau dalam istilah fikih dikenal dengan air musta’mal. Atau bagaimana hukum air mutlak yang terkena air sisa tersebut?
            Sebelum pada pokok pembahasan, terlebih dahulu perlu kita mengetahui apakah air musta’mal itu. Dalam kitab al-Muhadzab milik Ibrahim bin Ali bin Yusuf asy-Syairazi atau biasa dikenal Abu Ishaq asy-Syairazi disebutkan bahwa air musta’mal adalah sisa air dari pemakaian ibadah bersuci yang bersifat fardhu maupun sunnah. Beliau menyandarkan perkataan tersebut atas qoul jadid dari Allamah Imam asy-Syafi’i.
Spesifikasi air musta’mal juga dipaparkan oleh ulama Malikiyyah dengan gambaran berbeda.  Disebutkan bahwa air musta’mal adalah air yang dipergunakan dalam mengangkat hadats dan khabats[1]. Untuk melengkapi kriteria-kriteria yang dipaparkan sebelumnya, Abu Hanifah dan karibnya Abu Yusuf menggabungkan dengan mengisyaratkan; air musta’mal adalah air yang digunakan untuk menghilangkan hadats atau telah terpakai pada badan karena ibadah. Kemudian ulama’ Hanabilah memberikan persyaratan yang lain yaitu tidak merubah sifat dzat air[2]. Jadi dapat disimpulkan bahwa air musta’mal adalah sisa air pemakaian dalam membersihkan hadats, khabats serta pemakaian ibadah tertentu dengan tanpa mengubah sifat dzatnya.
            Adapun hukum air mutlaq yang terkena air musta’mal memiliki perincian yang sesuai pendapat para ulama madzhab yang empat. Ulama Hanabilah dalam menerangkan hal ini menyebutkan; ketika air musta’mal tercampur dengan yang semisal maka hukumnya tetap, yaitu makruh[3]. Barulah berubah ketika air tersebut melebihi kadar 2 qullah[4], karena dengan kadar air tersebut mampu menghilangkan dzat najis dan baiknya dipergunakan. Lain halnya ketika tidak melebihi 2 qullah, ketika campuran air musta’mal tersebut memiliki kadar yang ringan maka boleh digunakan tanpa ada pengaruh apapun. Namun, hukum dapat berubah ketika air musta’mal dominan dan mempengaruhi sifat asli dari air mutlak. Hal ini serupa dengan hukum air mutlak yang terkena benda-benda suci lainnya[5].
Syaikh ad-Dumuqi al-Maliki dalam Hasyiah-nya memberikan pendapat yang berbeda, dengan ungkapan, “Hukumnya makruh ketika ada air selainya, adapun ketika tidak ada yang lain maka bukan termasuk hal yang makruh. Sebagaimana tidak ada hukum makruh pada tuangan air musta’mal yang berkadar ringan pada air mutlak. Meskipun juga ketika air musta’mal dengan kadar yang serupa bahkan berlebih. Karena hukum bagian seperti hukum keseluruhan”[6].
Dari ungkapan diatas dapat disimpulkan bahwa air musta’mal suci dan mensucikan. Madzhab Malikiyyah juga memperbolehkan pemakaiannya dalam mengangkat najis dan membersihkan bejana. Namun me-makruh-kan ketika dipergunakan unutk menghilangkan hadats dan mandi-mandi sunnah.
            Madzhab Hanafi menghukumi air musta’mal sebagai air yang tidak dapat mensucikan hadats maupun khabats[7]. Akan tetapi, air musta’mal menurut madzhab Hanafi memiliki kriteria yang rinci. Berkaitan dengan air yang terkena air musta’mal, dijelaskan bahwa ketika 3 sifat air mutlak masih nampak, maka hukumnya tetap serupa dengan air mutlak. Ringkasnya, air yang sifatnya dominan, maka dihukumi denganhukum air tersebut.[8]
            Dalam menghukumi air mutlak yang terkena air musta’mal, madzhab Syafi’iyyah  dalam kitab al-Mughni al-Muhtaj milik Imam Muhammad bin Ahmad asy-Syarbini menerangkan: “Ketika air musta’mal bercampur dengan air baru (mutlak) dan melebihi kadar 2 qullah maka pendapat yang benar adalah suci dan mensucikan. Karena air najis lebih berat dibanding hukum air musta’mal. Dan air yang bercampur najis-pun ketika telah melebihi kadar 2 qullah atau tidak merubah sifat air mutlak maka jelas suci mensucikan.”

Referensi:
1.  مغني المحتاج شرح منهاج الطالبين1/ 21ط دار الفكر
فَإِنْ جُمِعَ الْمُسْتَعْمَلُ عَلَى الْجَدِيدِ فَبَلَغَ قُلَّتَيْنِ فَطَهُورٌ فِي الأَصَحِّ لأَنَّ النَّجَاسَةَ أَشَدُّ مِنَ الاسْتِعْمَالِ ، وَالْمَاءُ الْمُتَنَجِّسُ لَوْ جُمِعَ حَتَّى بَلَغَ قُلَّتَيْنِ أَيْ وَلا تَغَيُّرَ بِهِ صَارَ طَهُورًا قَطْعًا ، فَالْمُسْتَعْمَلُ أَوْلَى ، وَمُقَابِلُ الأَصَحِّ لا يَعُودُ طَهُورًا لأَنَّ قَوَّتَهُ صَارَتْ مُسْتَوْفَاةً بِالاسْتِعْمَالِ فَالْتَحَقَ بِمَاءِ الْوَرْدِ وَنَحْوِهِ وَهُوَ اخْتِيَارُ ابْنُ سُرَيْجٍ
2.  حاشية الدسوقي على الشرح الكبير الناشر: دار الفكر  ( 1/41 )
قَالَ الدُّسُوقِيُّ : وَالْكَرَاهَةُ مُقَيَّدَةٌ بِأَمْرَيْنِ : أَنْ يَكُونَ ذَلِكَ الْمَاءُ الْمُسْتَعْمَلُ قَلِيلا كَآنِيَّةِ الْوُضُوءِ وَالْغُسْلِ ، وَأَنْ يُوجَدَ غَيْرُهُ ، وَإِلا فَلا كَرَاهَةَ ، كَمَا أَنَّهُ لا كَرَاهَةَ إِذَا صُبَّ عَلَى الْمَاءِ الْيَسِيرِ الْمُسْتَعْمَلِ مَاءٌ مُطْلَقٌ غَيْرُ مُسْتَعْمَلٍ ، فَإِنْ صُبَّ عَلَيْهِ مُسْتَعْمَلٌ مِثْلُهُ حَتَّى كَثُرَ لَمْ تَنْتَفِ الْكَرَاهَةُ لأَنَّ مَا ثَبَتَ لِلأَجْزَاءِ يَثْبُتُ لِلْكُلِّ
3.  البحر الرائق شرح كنز الدقائق الناشر: دار الكتاب الإسلامي (1/73)
وَإِنْ كَانَ مَائِعًا مُوَافِقًا لِلْمَاءِ فِي الْأَوْصَافِ الثَّلَاثَةِ كَالْمَاءِ الَّذِي يُؤْخَذُ بِالتَّقْطِيرِ مِنْ لِسَانِ الثَّوْرِ وَمَاءِ الْوَرْدِ الَّذِي انْقَطَعَتْ رَائِحَتُهُ وَالْمَاءِ الْمُسْتَعْمَلِ عَلَى الْقَوْلِ الْمُفْتَى بِهِ مِنْ طَهَارَتِهِ إذَا اخْتَلَطَ بِالْمُطْلَقِ فَالْعِبْرَةُ لِلْأَجْزَاءِ فَإِنْ كَانَ الْمَاءُ الْمُطْلَقُ أَكْثَرَ جَازَ الْوُضُوءُ بِالْكُلِّ، وَإِنْ كَانَ مَغْلُوبًا لَا يَجُوزُ، وَإِنْ اسْتَوَيَا لَمْ يُذْكَرْ فِي ظَاهِرِ الرِّوَايَةِ.
4.  الكافي في فقه الإمام أحمد الناشر: دار الكتب العلمية (1/36)
فإن اجتمع نجس إلى نجس، فالجميع نجس وإن كثر؛ لأن اجتماع النجس إلى النجس لا يتولد بينهما طاهر، كالمتولد بين الكلب والخنزير، ويتخرج أن يطهر إذا زال التغير، وبلغ القلتين، لما ذكرناه، وإن اجتمع مستعمل إلى مثله، فهو باق على المنع، فإن اجتمع إلى طهور يبلغ قلتين، فالكل طهور؛ لأن القلتين تزيل حكم النجاسة، فالاستعمال أولى، فإن اجتمع مستعمل إلى طهور دون القلتين، وكان المستعمل يسيراً، عفي عنه؛ لأنه لو كان مائعاً غير الماء، عفي عنه، فالمستعمل أولى وإن كثر؛ بحيث لو كان مائعاً غلب على أجزاء الماء، منع كغيره من الطاهرات.





[1] Muhammad bin Ahmad bin Arofah ad-Dumuqi al-Maliki, Hasyiah ad-Dumuqi ala asy-Syarhil al-Kabir. Dar el-fikr (1/41).
[2] (الماء طهور لا ينجسه شيء إلا ما غيَّر طعمه أو لونه أو ريحه) (لا يغتسل أحدكم في الماء الدائم وهو جنب) (سبحان الله! إن الماء لا يجنب)
[3] «وَلِأَنَّ النَّبِيَّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - نَهَى أَنْ يَغْمِسَ الْقَائِمُ مِنْ نَوْمِ اللَّيْلِ يَدَهُ فِي الْإِنَاءِ قَبْلَ غَسْلِهَا.»
[4] «إذَا بَلَغَ الْمَاءُ قُلَّتَيْنِ لَمْ يَحْمِلْ خَبَثًا.»
[5] Abu Muhammad bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah al-Maqdisi; al-Kafi fii fiqh al-Imam Ahmad, dar el-kutub ilmiyyah.
[6] Muhammad bin Ahmad bin Arofah ad-Dumuqi al-Maliki; Hasyiah ad-Dumuqi ala asy-Syarhul al-Kabir. Dar el-fikr (1/41).

[7] Abu Bakar bin Mas’ud bin Ahmad al-Kasani; Badai’us Shonai’ fii Tartiibi Syaroi’, Dar el-kutub ilmiyyah (1/66).
[8] Zainudin bin Ibrahim bin Muhammad al-Mishri; al-Bahur ar-Roqoiq syarkh Kanzu ad-Daqoiq, dar el-kutub islamiyyah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad