Juli 2019 - Majlis Takon

Hot

Post Top Ad

Kamis, 25 Juli 2019

Hukum Berkumpul Untuk Bertakbir Ketika Penyembelihan Hewan Udhiyah

Juli 25, 2019 0

Bertakbir bagi yang menyembelih hewan qurban merupakan hal yang  disunnah, berdasarkan riwayat yang shahih dari Bukhori dan Muslim, dari sahabat Anas ia berkata, “Nabi shalallahu alaihi wasallam berudhiyah dengan dua kambing bertanduk berwarna putih hitam dengan tangan beliau sendiri kemudian beliau menyebut nama Allah dan bertakbir.”

Adapun bertakbir bagi selain tukang sembelih, yaitu orang-orang yang menyaksikan proses penyebelihan tidak ada riwayat yang shahih ataupun doif menjelasakan kesunahan tersebut.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad pernah ditanya oleh seseorang. Di negara kami sebagian orang berkumpul ketika mennyembeleh udhiyah dan bereka bertakbir ketika proses penyembelehan tersebut sebagaimana takbir pada hari ied?
Beliau mengatakan:
هذا غير صحيح، إنما التكبير يشرع للذابح الذي يذبح، فيقول: باسم الله، والله أكبر، أما الباقون فلا يكبرون للذبح، ولكن إن كانوا يكبرون لأيام التشريق فلا بأس، لا من أجل الذبح؛ لأن أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر لله عز وجل.
“Ini tidak lah benar, akan tetapi takbir di sunnah kepada orang yang menyembeleh, maka ia mengucapkan “bismillah, wallahu akbar” , adapun yang lainnya tidak bertakbir untuk penembelah tersebut. Akan tetapi jika mereka bertakbir karena memang hari tasyrik maka tidak mengapa, bukan untuk penyembelahan. Karena hari tasyrik ,erupaka hari makan dan minum dan berzikir kepada Allah Azza wa Jalla.” (Abdul Muhsin al-Abbad, Syarh Sunna Abi Daud, vol.15, hlm.208) (Muhammad Ma’shum)

Read More

Membagikan daging udhiyah dalam bentuk masakan

Juli 25, 2019 0

ilustrasi
Tidak ada yang mengingkari menyalurkan daging kurban dalam keadaan mentah atau segar. Namun dalam kasus menyalurkan daging kurban setelah di jadikan makanan terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Pendapat yang pertama

Tidak boleh sebagaiman zakat fitri tidak boleh di salurkan dalam bentuk roti. Ini merupakan pendapat mazhab syafii. Dengan hujjah di kiyaskan kepada penyaluran zakat fitri. Yang mana zakat fitri tidak boleh di di saluran berbentuk roti namun harus dengan gandum.   
Imam nawawi menukil perkataan Ar-Ruyani dalam al-Majmu’:
لا يجوز أن يدعو الفقراء ليأكلوه مطبوخا لأن حقهم في تملكه فإن دفع مطبوخا لم يجز بل يفرقه نيئا فإن المطبوخ كالخبز في الفطرة

“tidak boleh mengundang orang-orang miskin untuk memakannya (daging udhiyah) dalam kondisi sudah di masak, karena hak mereka orang miskin adalah memilikinya maka jika daging kurban tersebut di serahkan dalam kondisi sudah di masak maka tidak boleh, akan tetapi membagikannya dalam kondisi mentah, karena daging yang sudah di masak sebagaimana hukum roti dalam zakat fitrah.” (an-Nawawi, al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab, vol.8, hlm.415)
Begitu juga Syaikh al-Utsaimin lebih menganjurkan agar penyaluran daging kurban dalam bentuk daging segar tidak dimasak. Beliau mengatakan:
إن الإهداء والصدقة إنما يكون في اللحم النيء دون المطبوخ، وهذا سهل
“hadiyah dan sedekah hewan kurban, dalam bentuk daging segar/mentah tidak dalam bentuk telah dimasak, dan ini merupakan perkara yang mudah.” (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Majmuk Fatawa wa Rasail, vol.25, hlm.132)

Pendapat kedua 

Boleh, dalam fatwa Lajnah Daimah di sebutkan:
والأمر في توزيعها مطبوخة أو غير مطبوخة واسع، وإنما المشروع فيها أن يأكل منها، ويهدي، ويتصدق.
“ Perkara membagikan daging kurban dengan cara dimasak atau tidak itu perkara yang luas (artinya boleh dimasak boleh tidak), akan tetapi yang di syariatkan adalah makan daging kurban, menghadiakannya dan mensedekahkannya.” (Fatawa Lajnah Daimah, vol.11, hlm.394)
Pendapat ini mengkiyaskan penyaluran qurban dengan penyaluran daging aqiqah, yang mana daging aqiqah boleh di salurkan dalam kondisi sudah dimasak.
Sebagaimana imam ibnu Qudamah menjelasakan dalam Al-Mughni,
وسبيلها في الأكل والهدية والصدقة سبيلها
Cara  pelaksanaan untuk makan, hadiah dan di sedekah dalam daging aqigah sama dengan udhiyah. Kemudian beliau menukil perktaan ibnu sirin
اصْنَعْ بِلَحْمِهَا كَيْف شِئْت
“Lakukan sesukamu terhadap daging aqiqa/ kurban”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, vol.11, hlm.120)
Selain mengkiyaskan udhiyah dengan aqiqah kelompok yang membolehkan juga berhujjah dengan firman Allah:
فَكُلُوا مِنْها وَأَطْعِمُوا الْبائِسَ الْفَقِيرَ
“makanlah dari daging udhiyah dan berimakanlah orang yang sengsara dan miskin.” (QS.Al-Hajj:28)
Mereka mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk memberi makan orang miskin dari daging udhiyah dalam ayat ini bersifat umum, sehingga ayat tersebut dihukumi berdasarkan keumumannya karena tidak ada dalil yang mentakhsisnya. Sehingga boleh di salurkan dalam kondisi segar atau sudah di masak, karena metode penyalurannya dalam ayat tersebut bersifat umum.

Kesimpulan:

Bahwa cara atau metode penyaluran daging udhiyah merupakan ranah permasalahan khilafiyah, ada yang mengatakan penyalurannya harus berupa daging mentah atau segar dan ada yang berpendapat bahwa ini merupakan perkara yang longgar bisa disalurkan berbentuk daging segar ataupun sudah berbentuk masakan.
Namun lebih utama untuk menyalurkannya berupa daging segar, karena setiap orang berhak memasak daging udhiyah tersebut sesuai seleranya, dan juga ia bisa menyimpannya lebih lama untuk kebutuhan jangka yang agak lama atau menjualnya. Dan cara penyaluran semacam ini merupakan cara yang dilakukan oleh sahabat Ali bin Tholib, dan kita dianjurkan untuk mengikuti sunah-sunah khulafa ar-Rasyidin sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Rasulullah.
عَنْ نَاعِمٍ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهُ حَضَرَ عَلِيًّا بِالْكُوفَةِ يَوْمَ أَضْحَى، فَخَطَبَ ثُمَّ نَزَلَ، فَاتَّبَعْتُهُ، فَدَعَا بِتَيْسٍ فَذَبَحَهُ، فَذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ: عَنْ  عَلِيٍّ وَعَنْ آلِ عَلِيٍّ، ثُمَّ لَمْ يَبْرَحْ حَتَّى قَسَّمَ لَحْمَهُ فَفَضِلَ مِنْهُ شَيْءٌ فَبَعَثَهُ إِلَى أَهْلِهِ.

“Dari Naim budaknya Ummu Salamah bahwa ia mendatangi Ali pada hari idul adha, maka Ali berkhutbah kemudian turun. Maka saya (Naim) mengikutinya lalu beliau memerintah untuk mendatangkan kambing hutan lalu menyembelehnya, beliau menyebut nama Allah kemudian mengatakan, ‘dari Ali dan keluarga Ali. Kemudian beliau tidak meninggalkan tempat sampai beliau membagikan daging tersebut dan menyisakan sedikit darinya lalu mengirimkannya ke keluarga beliau.” (Yahya bin Salam bin Abi Tsa’labah, Tafsir Yahya bin Salam, vol.1, hlm.366)
Atsar ini menunjukkan bahwa Ali menyalurkan daging tersebut dalam kondisi mentah, karena beliau tidak pergi dari tempat penyembelihan tersebut sebelum membaginya. Dan tidak mungkin Ali memasak daging tersebut di tempat penyembelehan. Wallahu a’lam bish shawab. (Muhammad Ma’shum)



Read More

Jumat, 19 Juli 2019

Hukum Memberi Daging Udhiyah Kepada Orang Kafir

Juli 19, 2019 0



Para ulama telah berijmak bahwa boleh memberi daging udhiyah (Qurban) kepada orang islam, namun mereka berbeda pendapat hukum memberi daging udhiyah kepada orang kafir.
Menurut imam Malik dan Imam al-Laits makruh memberikan kulit dan daging hewan udhiyah kepada orang nasrani. Imam Malik mengatakan:
غيرهم أحب إلينا
“di berikan kepada selain mereka (orang kafir) kami jauh lebih senang.” (lht. An-Nawawi, al-Majmu’ syarhu al-Muhadzdzab, vol.8, hlm.425)
Sedangkan dalam mazhab syafii terdapat dua pendapat
Pendapat pertama tidak boleh secara mutlaq baik qurban wajib atau qurban sunnah. Ini merupakan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami. Beliau mengatakan:
لا يجوز لكافر الأكل منها مطلقا
“Tidak boleh bagi orang kafir memakan dari daging udhiyah secara mutlak (baik udhiyah wajib atau sunnah).” (Abul Abbas Ahmad bin Muhammad, Tuhfatul muhtaj Bisyarhil Minhaj, vol.3, hlm.378)
Sedangkan imam Nawawi boleh jika qurban sunnah bukan qurban wajib. Beliau mengatakan:
ومقتضى المذهب أنه يجوز إطعامهم من ضحية التطوع دون الواجبة
“Menurut mazhab (syafii) bahwa boleh memberi makan mereka orang kafir dari daging udhiyah sunnah bukan udhiyah yang wajib.” (lht. An-Nawawi, al-Majmu’ syarhu al-Muhadzdzab, vol.8, hlm.425)
Menurut Abu Hanifah, Al-Hasan al-Basri dan Abu Tsaur boleh secara mutlaq, sebagaimana Ibnu Mundzir mengatakan:
أجمعت الأمة على جواز إطعام فقراء المسلمين من الأضحية . واختلفوا في إطعام فقراء أهل الذمة فرخص فيه الحسن البصري وأبو حنيفة وأبو ثور

“Umat islam telah berijmak atas kebolehan memberi makan orang fakir umat islam dari daging udhiyah dan mereka berbeda pendapat hukum memberi makan orang miskin ahlu dzimmah dengan daging udhiyah, Hasan al Bashri, Abu Hanifah dan Abu Tsaur memberi rukhshoh (memboehkannya). (ibid)
Menurut imam Ibnu Qudamah dari kalangan hanabilah merojihkan pendapat yang membolehan. Beliau mengatakan:
ويجوز أن يطعم منها كافراً ، وبهذا قال الحسن وأبو ثور وأصحاب الرأي لأنه طعام له أكله ، فجاز إطعامه للذمي كسائر الأطعمة ، ولأنه صدقة تطوع
“Boleh memberikan makan dari daging udhiyah kepada orang kafir dan ini merupakan pendapat al-hasan, abu tsaur dan ahlu ro’yi karena ia merupakan makanan yang boleh ia makan, maka boleh jga di berikan kepada kafir dzimmi sebagaimana makanan yang lainnya. Karena hal itu merupakan sedekah sunnah.” (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, vol.11, hlm.109)
Kesimpulan:
Pendapat yang rojih adalah pendapat yang membolehkan memberi daging udhiyah kepada orang kafir yang bukan harbi (kafir yang boleh di perangi). Karena pada dasarnya kita boleh berbuat baik dan adil kepada mereka dan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka adalah memberi daging udhiyah kepada mereka. Berdasarkan firman Allah:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS.Al-Mumtahanah:8). Wallahu a’lam. (Muhammad Ma’shum)

Read More

Post Top Ad