Juni 2017 - Majlis Takon

Hot

Post Top Ad

Rabu, 21 Juni 2017

Hukuman Bagi Orang Yang Menikahi Ibu Kandung

Juni 21, 2017 0
Hukuman Bagi Orang Yang Menikahi Ibu Kandung
Oleh : Muhammad Ma’shum




Para ulama telah sepakat akan keharaman menikahi ibu atau wanita yang telah dinikahi ayahnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
 وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاءَ سَبِيلاً 
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh perbuatan itu sangan keji dan dibenci (oleh Allah) serta seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. an-Nisa: 22).
Dalil lainnya, firman Allah ‘Azza wa Jalla:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu.” (QS. an-Nisa: 23).
Menikahi mahram (termasuk ibu, nenek, anak dan saudara perempuan) merupakan nikah yang bathil menurut ijma, maka jika ia menggaulinya wajib atasnya hukum had, ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama, seperti al-Hasan, Jabir bin Zaid, Malik, Syafi’i, Abu Yusuf, Muhammad, Abu Ayub, Ibnu Abi Khaitsamah.
Sedangkan Abu Hanifah dan ats-Tsauri berpendapat tidak ada had atasnya, dikarenakan adanya syubhat, maka jika ada syubhat tidak wajib had atasnya. Syubhatnya yaitu adanya sifat yang (pada hukum asalnya) dibolehkan yaitu akad nikah. (al-Mughni, 12/341).
Namun pendapat ini dibantah, bahwa menggauli wanita yang sudah menjadi ijma’ atas keharamannya, maka orang yang menggaulinya berhak mendapatkan had dan jika ia mengetahui keharamannya, maka wajib had atasnya baik ada dan tidak adanya akad nikah sebelum menggaulinya. Syubhat dalam akad nikah hanya berlaku ketika akad nikah yang dilakukan sah. Sementara akad nikah pada kasus ini adalah akad nikah yang batal lagi terlarang sehingga tidak bisa dikatakan syubhat.  Ini merupakan bantahan yang dikemukan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (12/342).
Jenis Hukum Had yang Diberlakukan
            Para ulama berbeda pendapat apakah hukuman bagi orang yang menikahi atau menzinai ibu atau muhrimnya. Menurut jumhur hukumannya dirajam jika ia orang yang muhshon (sudah menikah) dan dijilid jika ia belum muhshon. Mereka bedalil dengan keumuman dalil tentang zina.
            Mereka berpendapat hadits yang menjelaskan dibunuhnya orang yang menikahi wanita yang dinikahi ayahnya adalah jika ia menyakini kehalalannya sehingga ia telah dihukumi murtad yang halal darah dan hartanya.
            Pendapat yang kedua merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah juga murid beliau Ibnu Qoyyim yaitu hukumannya dibunuh secara mutlak baik muhshan atau tidak. Ibnu Qoyyim mengatakan, “Ini pendapat yang shahih, yang sejalan dengan perintah Nabi.” (Zadu al-Ma’ad, 5/14).
            Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan an-Nasai dari Barro’ bin ‘Azib ia berkata, “Saya berjumpa dengan paman saya dan ia membawa bendera, maka saya menanyakan akan hal tersebut, maka beliau menjawab, ‘Saya diutus Rasulullah mendatangi laki-laki yang menikahi wanita bapaknya (istri bapaknya) maka saya diperintahkan menebas lehernya dan mengambil hartanya.”
            Menurut Syaikh Hamad bin Abdullah al-Hamd dalam kitab Syarhu Zadi al-Mustaqni’ (17/28, versi Maktabah Syamilah) pendapat yang rajih adalah pendapat yang kedua, tidak diragukan lagi bahwa terdapat perbedaan yang jelas berzina dengan wanita bukan mahram dengan wanita yang mahram.
            Syaikh Utsaimin mengatakan ketika ditanya apakah orang yang menikahi wanita yang dinikahi ayahnya diambil hartanya? Beliau menjawab, “Perkataan apa ini? Orang yang menikahi wanita yang dinikahi ayah dan ia mengetahui akan keharamannya maka dirajam walaupun ia seorang yang belum menikah sebagaimana tertera dalam hadits. Namun, hartanya tidak diambil, karena hukuman tersebut adalah had bukan karena kekufaran.” (Fatawa Tsulatsiyah, hlm. 49, versi Maktabah Syamilah).
Kesimpulan

            Jumhur ulama berpendapat orang yang menikahi ibu atau wanita yang dinikahi ayahnya maka wajib mendapakan hukuman had, sedangkan untuk jenis hukuman yang diberlakukan menurut Syaikh Hamad bin Abdullah al-Hamd bahwa pendapat yang rajih adalah dibunuh atau dirajam dan tidak boleh mengambil hartanya kecuali ia jika menghalalkan perbuatan tersebut, karena berzina dengan mahramnya jauh lebih keji dan menjijikkan dari pada berzina dengan wanita selain mahram.Wallahu a’lam.
Read More

Apakah Memasukan Alat Kedalam Kemaluan Saat Berobat Membatalkan Puasa?

Juni 21, 2017 0
Apakah Memasukan Alat Kedalam Kemaluan
Saat Berobat Membatalkan Puasa?
Oleh: Muhammad Ma’shum

Pertanyaan semacam ini pernah ditanyakan kepada Lajnah Daimah (semacam MUI di Saudi Arabia). Seseorang bertanya, “Jika seorang wanita memasukkan jarinya ke dalam kemaluannya untuk istinjak atau memasukkan saleb atau tablet untuk pengobatan atau seorang dokter perempuan memasukkan jarinya atau sebuah alat kepada pasien wanita untuk mengetahui penyakitnya apakah wajib bagi wanita tersebut mandi? Dan jika terjadi pada siang hari bulan Ramadhan apakah membatalkan puasa dan wajib atasnya mengqodha?

Lajnah Daimah menjawab bahwa hal tersebut tidak menjadikannya wajib mandi janabah dan tidak pula membatalkan puasa. (Fatawa Lajnah ad-Daimah, 5/314-315, nomor fatwa 9881).
Syaikh Musthafa al-‘Adawi ketika ditanya tentang wanita-wanita yang menggunakan WC ala orang eropa yang mana  harus duduk diatasnya ketika buang hajat dan disaat membasuh kotoran  sebagian air masuk kedalam kemaluan mereka. Apakah sebagian air tersebut membatalkan puasa?
Beliau menjawab, “Dahulu para wanita di zaman Nabi juga beristinja dengan air, dan tidak ada riwayat bahwa ada seorang wanita diantara mereka yang batal puasanya karena masuknya sebagian air kedalam kemaluannya. Kemudian hal semacam ini juga bukan termasuk makanan atau minuman, serta bukan pula cara memenuhi syahwat seorang wanita. Hal tersebut juga bukan bagian dari haid dan nifas.” (Musthafa al-‘Adawi, Jami’u Ahkami an-Nisa’, 2/398).
Bahkan Fadhilah Syaikh Muhammad bin Abdu al-Maqsud, menjelaskan suntikan pada dubur dan apa-apa yang diletakkan di dalam kemaluan atau dubur, jalsarin yang dimasukkan ke telinga, bau kemenyan dan bau-bau wangi semuanya ini tidak merusak puasa. (Linnisa’ Faqoth, hlm. 202).
Kesimpulan
Alat yang dimasukkan kedalam kemaluan seorang wanita baik berupa kapsul, salep atau alat-alat lainnya untuk pengobatan atau untuk mengetahui penyakit yang diderita tidak membatalkan puasa. Sebagaimana tidak batalnya puasa saat ia memasukkan air dan jari tangannya kedalam dubur atau kemaluan pada saat beristinjak. Wallahu a’lam.



Read More

Hukum Hewan Sembelihan Yang Tidak Dibacakan Basmalah Saat Menyembelih

Juni 21, 2017 3
Hukum Hewan Sembelihan Yang Tidak Dibacakan
Basmalah Saat Menyembelih
Oleh: Fajar Nur Rohim


Sebelum membahas hukum hewan sembelihan yang tidak dibacakan basmalah (بسم الله), perlu dikaji terlebih dahulu apakah basmalah itu menjadi syarat penyembelihan atau tidak. Ketika basmalah menjadi syarat penyembelihan, maka hewan sembelihan yang tidak dibacakan basmalah saat menyembelih- sedangkan orang yang menyembelihnya mampu membacanya dan tidak bisu- adalah haram untuk dimakan lantaran penyembilahannya tidak sah.
Syarat merupakan perkara yang ketiadaannya mengharuskan perbuatan (masyruth) tidak ada, dan keberadaanya tidak mengharuskan perbuatan itu ada atau tidak. Akan tetapi, lain hukumnya ketika basmalah tidak menjadi syarat menyembelih. Hewan sembelihan akan tetap halal dan boleh dikonsumsi meskipun tidak dibacakan basmalah. (Sayyid Salim, Shahih Fiqhu as-Sunnah, 2/361 dan Sulaiman al-Asyqar, al-Wadhih Fi Ushul al-Fiqh, hlm. 50).
Dalam diskursus ini, terjadi perbedaan pendapat diantara fuqaha (para pakar ilmu fikih):
Pertama, menjadikan basmalah sebagai syarat mutlak saat menyembelih hewan. Oleh karenanya, menurut pendapat ini hewan yang tidak dibacakan basmalah saat disembelih baik karena sengaja ataupun lupa hukumnya adalah haram untuk dikonsumsi. Pendapat ini dipegang oleh madzhab Dhahiriyah, Ibnu Umar, asy-Sya’bi, dan Ibnu Sirrin. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/360).
Landasan pendapat ini adalah firman Allah ,
وَلَا تَأْكُلُوا مِمَّا لَمْ يُذْكَرِ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ وَإِنَّهُ لَفِسْقٌ ۗ وَإِنَّ الشَّيَاطِينَ لَيُوحُونَ إِلَىٰ أَوْلِيَائِهِمْ لِيُجَادِلُوكُمْ ۖ وَإِنْ أَطَعْتُمُوهُمْ إِنَّكُمْ لَمُشْرِكُونَ
“Dan janganlah kamu memakan binatang-binatang yang tidak disebut nama Allah ketika menyembelihnya. Sesungguhnya perbuatan yang semacam itu adalah suatu kefasikan. Sesungguhnya syaitan itu membisikkan kepada kawan-kawannya agar mereka membantah kamu; dan jika kamu menuruti mereka, sesungguhnya kamu tentulah menjadi orang-orang yang musyrik.(QS. al-An’am: 121).
Ulama Dhahiriyah mengatakan, “Dalam penyembelihan, disyaratkan untuk membaca basmalah secara mutlak. Apabilah hewan sembelihan tidak dibacakan basmalah saat disembelih baik karena sengaja maupun lupa adalah haram untuk dimakan. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, 3/659).
Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa basmalah menjadi syarat penyembelihan akan tetapi tidak secara mutlak. Oleh karenanya, wajib membaca basmalah saat menyembelih, apabila sengaja tidak membacanya, sedangkan orang yang menyembelihnya mampu untuk membacanya dan tidak bisu maka hewan sembelihan haram untuk dikonsumsi. Akan tetapi hewan sembelihan tetap dihalalkan untuk dikonsumsi apabila meninggalkannya karena ketidaksengajaan. Ini adalah pendapat jumhur ulama (Madzhab Hanafiyah, Malikiyah, Hanabilah, dan ast-Tsauri). Landasan mereka sama dengan landasan kelompok pertama. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/360 dan Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, 3/659).
Ketiga, pendapat yang mengatakan bahwa membaca basmalah saat menyembelih hukumnya adalah sunnah. Oleh karenanya, tidak diharamkan hewan yang disembelih dengan tidak dibacakan basmalah baik karena sengaja maupun lupa. Pendapat ini dipegang oleh ulama madzab Syafi’iyyah. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/361).
Landasan pendapat ini adalah firman Allah ,
فَكُلُوا مِمَّا ذُكِرَ اسْمُ اللَّهِ عَلَيْهِ إِن كُنتُم بِآيَاتِهِ مُؤْمِنِينَ
“Maka makanlah binatang-binatang (yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya.” (QS. al-An’am: 118).
Maksud ayat tersebut yaitu membaca basmalah saat menyembelih hukumnya adalah sunnah. Diperkuat dengan firman Allah dalam surat al-Maidah: 3, bahwa Allah menyatakan الا ما ذكيتم (kecuali yang kamu sembelih). Dalam ayat tersebut Allah tidak menyebutkan harus membaca basmalah. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, 3/659).
Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa hukum membaca basmalah saat menyembelih adalah sunnah. Seandainya pun tidak dibacakan basmalah, hewan sembelihan tetap halal untuk dikonsumsi. Kalaupun tidak dihalalkan sembelihan orang muslim karena tidak dibacakan basmalah, maka Allah pasti juga tidak akan menghalalkan sembelihannya ahli kitab bagi umat Islam, karena secara mayoritas ahli kitab tidak membaca basmalah saat menyembelih. (Abu Bakar bin Muhammad al-Husaini, Kifayatul Akhyar, 2/702).
Dalam sebuah riwayat, Ibunda Aisyah menceritakan bahwa suatu kaum pernah bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah, kami pernah diberi daging oleh masyarakat, sedangkan kami tidak mengetahui apakah mereka membacakan basmalah saat menyembelih ataukah tidak.” Rasulullah pun menjawab, “Kalian bacakanlah basmalah pada daging tersebut, lalu makanlah.” (HR. Bukhari, no. 7398 dan HR. Abu Dawud, no. 2829).
Kesimpulan

Hukum sembelihan yang tidak dibacakan basmalah baik karena sengaja maupun lupa adalah masih diperselihkan oleh para ulama. Ada yang mengharamkan secara mutlak, mengharamkan apabila sengaja, dan menghalalkan secara mutlak. Oleh sebab itu kita diperbolehkan untuk memilih salah satu pendapat yang menurut kita paling rajih (kuat) tanpa harus mencela dan menyalahkan orang yang mengambil pendapat yang lain. Ini menjadi bukti bahwa syari’at Islam datang untuk merealisasikan maslahat dan memberikan kemudahan bagi umatnya, serta tidak memberatkan. Wallahu a’lam.
Read More

Post Top Ad