Majlis Takon

Majlis Takon

Hot

Post Top Ad

Post Top Ad

Kamis, 25 Juli 2019

Hukum Berkumpul Untuk Bertakbir Ketika Penyembelihan Hewan Udhiyah

Juli 25, 2019 0

Bertakbir bagi yang menyembelih hewan qurban merupakan hal yang  disunnah, berdasarkan riwayat yang shahih dari Bukhori dan Muslim, dari sahabat Anas ia berkata, “Nabi shalallahu alaihi wasallam berudhiyah dengan dua kambing bertanduk berwarna putih hitam dengan tangan beliau sendiri kemudian beliau menyebut nama Allah dan bertakbir.”

Adapun bertakbir bagi selain tukang sembelih, yaitu orang-orang yang menyaksikan proses penyebelihan tidak ada riwayat yang shahih ataupun doif menjelasakan kesunahan tersebut.
Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad pernah ditanya oleh seseorang. Di negara kami sebagian orang berkumpul ketika mennyembeleh udhiyah dan bereka bertakbir ketika proses penyembelehan tersebut sebagaimana takbir pada hari ied?
Beliau mengatakan:
هذا غير صحيح، إنما التكبير يشرع للذابح الذي يذبح، فيقول: باسم الله، والله أكبر، أما الباقون فلا يكبرون للذبح، ولكن إن كانوا يكبرون لأيام التشريق فلا بأس، لا من أجل الذبح؛ لأن أيام التشريق أيام أكل وشرب وذكر لله عز وجل.
“Ini tidak lah benar, akan tetapi takbir di sunnah kepada orang yang menyembeleh, maka ia mengucapkan “bismillah, wallahu akbar” , adapun yang lainnya tidak bertakbir untuk penembelah tersebut. Akan tetapi jika mereka bertakbir karena memang hari tasyrik maka tidak mengapa, bukan untuk penyembelahan. Karena hari tasyrik ,erupaka hari makan dan minum dan berzikir kepada Allah Azza wa Jalla.” (Abdul Muhsin al-Abbad, Syarh Sunna Abi Daud, vol.15, hlm.208) (Muhammad Ma’shum)

Read More

Membagikan daging udhiyah dalam bentuk masakan

Juli 25, 2019 0

ilustrasi
Tidak ada yang mengingkari menyalurkan daging kurban dalam keadaan mentah atau segar. Namun dalam kasus menyalurkan daging kurban setelah di jadikan makanan terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.

Pendapat yang pertama

Tidak boleh sebagaiman zakat fitri tidak boleh di salurkan dalam bentuk roti. Ini merupakan pendapat mazhab syafii. Dengan hujjah di kiyaskan kepada penyaluran zakat fitri. Yang mana zakat fitri tidak boleh di di saluran berbentuk roti namun harus dengan gandum.   
Imam nawawi menukil perkataan Ar-Ruyani dalam al-Majmu’:
لا يجوز أن يدعو الفقراء ليأكلوه مطبوخا لأن حقهم في تملكه فإن دفع مطبوخا لم يجز بل يفرقه نيئا فإن المطبوخ كالخبز في الفطرة

“tidak boleh mengundang orang-orang miskin untuk memakannya (daging udhiyah) dalam kondisi sudah di masak, karena hak mereka orang miskin adalah memilikinya maka jika daging kurban tersebut di serahkan dalam kondisi sudah di masak maka tidak boleh, akan tetapi membagikannya dalam kondisi mentah, karena daging yang sudah di masak sebagaimana hukum roti dalam zakat fitrah.” (an-Nawawi, al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab, vol.8, hlm.415)
Begitu juga Syaikh al-Utsaimin lebih menganjurkan agar penyaluran daging kurban dalam bentuk daging segar tidak dimasak. Beliau mengatakan:
إن الإهداء والصدقة إنما يكون في اللحم النيء دون المطبوخ، وهذا سهل
“hadiyah dan sedekah hewan kurban, dalam bentuk daging segar/mentah tidak dalam bentuk telah dimasak, dan ini merupakan perkara yang mudah.” (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Majmuk Fatawa wa Rasail, vol.25, hlm.132)

Pendapat kedua 

Boleh, dalam fatwa Lajnah Daimah di sebutkan:
والأمر في توزيعها مطبوخة أو غير مطبوخة واسع، وإنما المشروع فيها أن يأكل منها، ويهدي، ويتصدق.
“ Perkara membagikan daging kurban dengan cara dimasak atau tidak itu perkara yang luas (artinya boleh dimasak boleh tidak), akan tetapi yang di syariatkan adalah makan daging kurban, menghadiakannya dan mensedekahkannya.” (Fatawa Lajnah Daimah, vol.11, hlm.394)
Pendapat ini mengkiyaskan penyaluran qurban dengan penyaluran daging aqiqah, yang mana daging aqiqah boleh di salurkan dalam kondisi sudah dimasak.
Sebagaimana imam ibnu Qudamah menjelasakan dalam Al-Mughni,
وسبيلها في الأكل والهدية والصدقة سبيلها
Cara  pelaksanaan untuk makan, hadiah dan di sedekah dalam daging aqigah sama dengan udhiyah. Kemudian beliau menukil perktaan ibnu sirin
اصْنَعْ بِلَحْمِهَا كَيْف شِئْت
“Lakukan sesukamu terhadap daging aqiqa/ kurban”. (Ibnu Qudamah, al-Mughni, vol.11, hlm.120)
Selain mengkiyaskan udhiyah dengan aqiqah kelompok yang membolehkan juga berhujjah dengan firman Allah:
فَكُلُوا مِنْها وَأَطْعِمُوا الْبائِسَ الْفَقِيرَ
“makanlah dari daging udhiyah dan berimakanlah orang yang sengsara dan miskin.” (QS.Al-Hajj:28)
Mereka mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk memberi makan orang miskin dari daging udhiyah dalam ayat ini bersifat umum, sehingga ayat tersebut dihukumi berdasarkan keumumannya karena tidak ada dalil yang mentakhsisnya. Sehingga boleh di salurkan dalam kondisi segar atau sudah di masak, karena metode penyalurannya dalam ayat tersebut bersifat umum.

Kesimpulan:

Bahwa cara atau metode penyaluran daging udhiyah merupakan ranah permasalahan khilafiyah, ada yang mengatakan penyalurannya harus berupa daging mentah atau segar dan ada yang berpendapat bahwa ini merupakan perkara yang longgar bisa disalurkan berbentuk daging segar ataupun sudah berbentuk masakan.
Namun lebih utama untuk menyalurkannya berupa daging segar, karena setiap orang berhak memasak daging udhiyah tersebut sesuai seleranya, dan juga ia bisa menyimpannya lebih lama untuk kebutuhan jangka yang agak lama atau menjualnya. Dan cara penyaluran semacam ini merupakan cara yang dilakukan oleh sahabat Ali bin Tholib, dan kita dianjurkan untuk mengikuti sunah-sunah khulafa ar-Rasyidin sebagaimana yang telah di jelaskan oleh Rasulullah.
عَنْ نَاعِمٍ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّهُ حَضَرَ عَلِيًّا بِالْكُوفَةِ يَوْمَ أَضْحَى، فَخَطَبَ ثُمَّ نَزَلَ، فَاتَّبَعْتُهُ، فَدَعَا بِتَيْسٍ فَذَبَحَهُ، فَذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ قَالَ: عَنْ  عَلِيٍّ وَعَنْ آلِ عَلِيٍّ، ثُمَّ لَمْ يَبْرَحْ حَتَّى قَسَّمَ لَحْمَهُ فَفَضِلَ مِنْهُ شَيْءٌ فَبَعَثَهُ إِلَى أَهْلِهِ.

“Dari Naim budaknya Ummu Salamah bahwa ia mendatangi Ali pada hari idul adha, maka Ali berkhutbah kemudian turun. Maka saya (Naim) mengikutinya lalu beliau memerintah untuk mendatangkan kambing hutan lalu menyembelehnya, beliau menyebut nama Allah kemudian mengatakan, ‘dari Ali dan keluarga Ali. Kemudian beliau tidak meninggalkan tempat sampai beliau membagikan daging tersebut dan menyisakan sedikit darinya lalu mengirimkannya ke keluarga beliau.” (Yahya bin Salam bin Abi Tsa’labah, Tafsir Yahya bin Salam, vol.1, hlm.366)
Atsar ini menunjukkan bahwa Ali menyalurkan daging tersebut dalam kondisi mentah, karena beliau tidak pergi dari tempat penyembelihan tersebut sebelum membaginya. Dan tidak mungkin Ali memasak daging tersebut di tempat penyembelehan. Wallahu a’lam bish shawab. (Muhammad Ma’shum)



Read More

Jumat, 19 Juli 2019

Hukum Memberi Daging Udhiyah Kepada Orang Kafir

Juli 19, 2019 0



Para ulama telah berijmak bahwa boleh memberi daging udhiyah (Qurban) kepada orang islam, namun mereka berbeda pendapat hukum memberi daging udhiyah kepada orang kafir.
Menurut imam Malik dan Imam al-Laits makruh memberikan kulit dan daging hewan udhiyah kepada orang nasrani. Imam Malik mengatakan:
غيرهم أحب إلينا
“di berikan kepada selain mereka (orang kafir) kami jauh lebih senang.” (lht. An-Nawawi, al-Majmu’ syarhu al-Muhadzdzab, vol.8, hlm.425)
Sedangkan dalam mazhab syafii terdapat dua pendapat
Pendapat pertama tidak boleh secara mutlaq baik qurban wajib atau qurban sunnah. Ini merupakan pendapat Ibnu Hajar al-Haitami. Beliau mengatakan:
لا يجوز لكافر الأكل منها مطلقا
“Tidak boleh bagi orang kafir memakan dari daging udhiyah secara mutlak (baik udhiyah wajib atau sunnah).” (Abul Abbas Ahmad bin Muhammad, Tuhfatul muhtaj Bisyarhil Minhaj, vol.3, hlm.378)
Sedangkan imam Nawawi boleh jika qurban sunnah bukan qurban wajib. Beliau mengatakan:
ومقتضى المذهب أنه يجوز إطعامهم من ضحية التطوع دون الواجبة
“Menurut mazhab (syafii) bahwa boleh memberi makan mereka orang kafir dari daging udhiyah sunnah bukan udhiyah yang wajib.” (lht. An-Nawawi, al-Majmu’ syarhu al-Muhadzdzab, vol.8, hlm.425)
Menurut Abu Hanifah, Al-Hasan al-Basri dan Abu Tsaur boleh secara mutlaq, sebagaimana Ibnu Mundzir mengatakan:
أجمعت الأمة على جواز إطعام فقراء المسلمين من الأضحية . واختلفوا في إطعام فقراء أهل الذمة فرخص فيه الحسن البصري وأبو حنيفة وأبو ثور

“Umat islam telah berijmak atas kebolehan memberi makan orang fakir umat islam dari daging udhiyah dan mereka berbeda pendapat hukum memberi makan orang miskin ahlu dzimmah dengan daging udhiyah, Hasan al Bashri, Abu Hanifah dan Abu Tsaur memberi rukhshoh (memboehkannya). (ibid)
Menurut imam Ibnu Qudamah dari kalangan hanabilah merojihkan pendapat yang membolehan. Beliau mengatakan:
ويجوز أن يطعم منها كافراً ، وبهذا قال الحسن وأبو ثور وأصحاب الرأي لأنه طعام له أكله ، فجاز إطعامه للذمي كسائر الأطعمة ، ولأنه صدقة تطوع
“Boleh memberikan makan dari daging udhiyah kepada orang kafir dan ini merupakan pendapat al-hasan, abu tsaur dan ahlu ro’yi karena ia merupakan makanan yang boleh ia makan, maka boleh jga di berikan kepada kafir dzimmi sebagaimana makanan yang lainnya. Karena hal itu merupakan sedekah sunnah.” (Abdullah bin Ahmad bin Qudamah, Al-Mughni, vol.11, hlm.109)
Kesimpulan:
Pendapat yang rojih adalah pendapat yang membolehkan memberi daging udhiyah kepada orang kafir yang bukan harbi (kafir yang boleh di perangi). Karena pada dasarnya kita boleh berbuat baik dan adil kepada mereka dan salah satu bentuk berbuat baik kepada mereka adalah memberi daging udhiyah kepada mereka. Berdasarkan firman Allah:
لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak pula mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. (QS.Al-Mumtahanah:8). Wallahu a’lam. (Muhammad Ma’shum)

Read More

Senin, 04 September 2017

Hukum Memanjangkan Dan Memperbesar Penis

September 04, 2017 3
Hukum Memanjangkan Dan Memperbesar Penis
Oleh: Muhammad Ma’shum


Syaikh Muhammad Shalih al-Munajjid dalam web resmi beliau; islamqa.com, menjelaskan bahwa membesarkan organ vital tidak terlepas dari dua cara:
Pertama, Melalui operasi.
Ini merupakan cara yang diharamkan, tidak boleh menggunakannya, karena dengan cara tersebut mengharuskan membuka aurat yang besar (‘aurotu al-mughalazhah). Mengganti anggota tubuh dengan jalan operasi tanpa adanya kebutuhan yang mendesak atau adanya darurat yang membutuhkan hal tersebut, hukumnya haram. Kecuali jika alat vitalnya sangat pendek, tidak sebagaimana mestinya. Sehingga berpengaruh pada hubungan intim suami-istri, maka dalam kondisi seperti ini dibolehkan untuk melakukan operasi guna memperpanjang alat vitalnya.
Kedua, dengan cara alami (thabi’iyah).
Pada kondisi seperti ini tidak ada larangan secara syar’i untuk melakukan usaha semacam itu, baik dengan cara karimat atau pijet refleksi dengan syarat tidak menimbulkan kemadharatan dan menghindari menyentuh alat vital dengan tangan kanan. Sebagaimana dalam hadits, bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasaallam melarang seseorang menyentuh kemaluanya dengan tangan kanan. (HR. Muslim, no. 267 dan Tirmidzi, no. 15).
Ibnu Hazm az-Zhahiri mengatakan, “Seseorang menyentuh kemaluannya dengan tangan kirinya adalah mubah menurut ijma umat.” (al-Muhalla, 11/392).
Perkara ini bukan bagian dari onani yang diharamkan, kecuali jika dia melakukannya  karena dorongan syahwat dan sengaja untuk mengeluarkan mani. (https://islamqa.info/ar/161616). Akan tetapi, metode pijet ini dilakukan sendiri. Tidak boleh menggunakan jasa pijat orang lain seperti yang sering terjadi saat ini.
Adapun membesarkan atau memanjangkan alat vital dengan mengkonsumsi obat-obatan, apabila kepastian secara ilmiah bahwa obat tersebut tidak berbahaya, maka secara syar’i tdak mengapa menggunakannya. (Fatawa as-Syabakah al-Islamiyah, no. 97459). Tentu dengan syarat obat tersebut tidak mengandung zat-zat yang diharamkan atau sesuatu yang najis.
Kesimpulan
Melakukan usaha untuk memperbesar atau memperpanjang alat vital diperbolehkan manakala alat vital yang dimiliki kecil atau sangat pendek, sehingga menyebabkan istrinya tidak bisa menikmati hubungan intim dengannya. Namun, apabila memperbesar atau memperpanjang kemaluan hanya sekedar ingin lebih merasa nikmat saat bersenggama, maka hendaknya tidak melakukan hal tersebut, karena bisa menjadi pintu masuknya setan untuk menjerumuskan hamba kepada sesuatu yang dharamkan. (Fatawa as-Syabakah al-Islamiyah, no.111477).
Sedangkan memperbesar atau memperpanjang alat vital dengan menggunakan silicon, maka ini tidak diperbolehkan mengingat banyaknya madharat (bahaya) yang terkandung dalam silicon itu sendiri. Wallau a’lam.






Read More

Hukum Memperbesar Payudara

September 04, 2017 2
Hukum Memperbesar Payudara
Oleh: Muhammad Ma’shum




Memperbesar payudara sama halnya dengan memperbesar alat vital. Seringkali dilakukan dengan dua cara:
Pertama, Melalui proses operasi.
Mengunakan operasi untuk memperbesar payudara ada dua kemungkinan, yaitu untuk menghilangkan aib dan untuk memperindah penampilan. Apabila bertujuan untuk menghilangkan aib seperti payudara amat kecil, dengan ukuran yang tidak biasanya maka ini diperbolehkan secara hukum syar’i. Adapun bertujuan untuk memperindah penampilan maka ini tidak diperbolehkan, karena termasuk merubah ciptaan Allah yang tidak diperkenankan kecuali dalam keadaan darurat.
Merubah ciptaan Allah merupakan bisikan setan kepada manusia,  sebagaimana ucapan setan dalam firman Allah Ta’ala:
وَلَأُضِلَّنَّهُمْ وَلَأُمَنِّيَنَّهُمْ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُبَتِّكُنَّ آَذَانَ الْأَنْعَامِ وَلَآَمُرَنَّهُمْ فَلَيُغَيِّرُنَّ خَلْقَ اللَّهِ وَمَنْ يَتَّخِذِ الشَّيْطَانَ وَلِيًّا مِنْ دُونِ اللَّهِ فَقَدْ خَسِرَ خُسْرَانًا مُبِينًا
“Dan pasti Aku sesatkan mereka dan akan  kubangkitkan angan-angan kosong pada mereka, dan akan kusuruh mereka memotong telingan-telinga binatang ternak, (lalu mereka benar-benar memotongnya) dan aku suruh mereka mengubah ciptaan Allah (dan mereka benar-benar merubahnya).  Barang siapa yang menjadikan setan seagai pelindung selain Allah, maka sungguh ia menderita kerugian yang nyata.” (QS. an-Nisa’: 119).
Kedua, Mengkonsumsi obat-obat tertentu.
Ketika obat-obatan tersebut tidak membahayakan dan tidak mengandung zat najis atau  haram, namun sebatas dengan alat yang bisa membangkitkan hormon payudara, maka tidak mengapa. Karena tidak termasuk merubah ciptaan Allah.  (Fatawa Sabakah al-Islamiyah, no. 33999, no. 116628, no. 127978).
Kesimpulan
Menggunakan obat-obatan untuk memperbesar payudara tidak termasuk merubah ciptaan Allah karena  proses pembesaran dengan menggunakan obat-obatan tidak ada ikut campur tangan manusia namun ia membesar dengan sendirinya atau alami. Adapun operasi termasuk bagian merubah ciptaan Allah karena payudara membesar disebabkan adanya tambahan daging yang dilakukan oleh manusia atau pengurangan daging jika untuk memperkecil payudara sehingga ia tidak membesar dan mengecil dengan alami. Wallahu a’lam.


Read More

Rabu, 21 Juni 2017

Hukuman Bagi Orang Yang Menikahi Ibu Kandung

Juni 21, 2017 0
Hukuman Bagi Orang Yang Menikahi Ibu Kandung
Oleh : Muhammad Ma’shum




Para ulama telah sepakat akan keharaman menikahi ibu atau wanita yang telah dinikahi ayahnya. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala:
 وَلا تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلَّا مَا قَدْ سَلَفَ إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَمَقْتاً وَسَاءَ سَبِيلاً 
“Dan janganlah kamu menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sungguh perbuatan itu sangan keji dan dibenci (oleh Allah) serta seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).” (QS. an-Nisa: 22).
Dalil lainnya, firman Allah ‘Azza wa Jalla:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ
“Diharamkan atas kamu menikahi ibu-ibumu.” (QS. an-Nisa: 23).
Menikahi mahram (termasuk ibu, nenek, anak dan saudara perempuan) merupakan nikah yang bathil menurut ijma, maka jika ia menggaulinya wajib atasnya hukum had, ini merupakan pendapat kebanyakan para ulama, seperti al-Hasan, Jabir bin Zaid, Malik, Syafi’i, Abu Yusuf, Muhammad, Abu Ayub, Ibnu Abi Khaitsamah.
Sedangkan Abu Hanifah dan ats-Tsauri berpendapat tidak ada had atasnya, dikarenakan adanya syubhat, maka jika ada syubhat tidak wajib had atasnya. Syubhatnya yaitu adanya sifat yang (pada hukum asalnya) dibolehkan yaitu akad nikah. (al-Mughni, 12/341).
Namun pendapat ini dibantah, bahwa menggauli wanita yang sudah menjadi ijma’ atas keharamannya, maka orang yang menggaulinya berhak mendapatkan had dan jika ia mengetahui keharamannya, maka wajib had atasnya baik ada dan tidak adanya akad nikah sebelum menggaulinya. Syubhat dalam akad nikah hanya berlaku ketika akad nikah yang dilakukan sah. Sementara akad nikah pada kasus ini adalah akad nikah yang batal lagi terlarang sehingga tidak bisa dikatakan syubhat.  Ini merupakan bantahan yang dikemukan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (12/342).
Jenis Hukum Had yang Diberlakukan
            Para ulama berbeda pendapat apakah hukuman bagi orang yang menikahi atau menzinai ibu atau muhrimnya. Menurut jumhur hukumannya dirajam jika ia orang yang muhshon (sudah menikah) dan dijilid jika ia belum muhshon. Mereka bedalil dengan keumuman dalil tentang zina.
            Mereka berpendapat hadits yang menjelaskan dibunuhnya orang yang menikahi wanita yang dinikahi ayahnya adalah jika ia menyakini kehalalannya sehingga ia telah dihukumi murtad yang halal darah dan hartanya.
            Pendapat yang kedua merupakan salah satu riwayat dari Imam Ahmad dan dipilih oleh Ibnu Taimiyah juga murid beliau Ibnu Qoyyim yaitu hukumannya dibunuh secara mutlak baik muhshan atau tidak. Ibnu Qoyyim mengatakan, “Ini pendapat yang shahih, yang sejalan dengan perintah Nabi.” (Zadu al-Ma’ad, 5/14).
            Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan an-Nasai dari Barro’ bin ‘Azib ia berkata, “Saya berjumpa dengan paman saya dan ia membawa bendera, maka saya menanyakan akan hal tersebut, maka beliau menjawab, ‘Saya diutus Rasulullah mendatangi laki-laki yang menikahi wanita bapaknya (istri bapaknya) maka saya diperintahkan menebas lehernya dan mengambil hartanya.”
            Menurut Syaikh Hamad bin Abdullah al-Hamd dalam kitab Syarhu Zadi al-Mustaqni’ (17/28, versi Maktabah Syamilah) pendapat yang rajih adalah pendapat yang kedua, tidak diragukan lagi bahwa terdapat perbedaan yang jelas berzina dengan wanita bukan mahram dengan wanita yang mahram.
            Syaikh Utsaimin mengatakan ketika ditanya apakah orang yang menikahi wanita yang dinikahi ayahnya diambil hartanya? Beliau menjawab, “Perkataan apa ini? Orang yang menikahi wanita yang dinikahi ayah dan ia mengetahui akan keharamannya maka dirajam walaupun ia seorang yang belum menikah sebagaimana tertera dalam hadits. Namun, hartanya tidak diambil, karena hukuman tersebut adalah had bukan karena kekufaran.” (Fatawa Tsulatsiyah, hlm. 49, versi Maktabah Syamilah).
Kesimpulan

            Jumhur ulama berpendapat orang yang menikahi ibu atau wanita yang dinikahi ayahnya maka wajib mendapakan hukuman had, sedangkan untuk jenis hukuman yang diberlakukan menurut Syaikh Hamad bin Abdullah al-Hamd bahwa pendapat yang rajih adalah dibunuh atau dirajam dan tidak boleh mengambil hartanya kecuali ia jika menghalalkan perbuatan tersebut, karena berzina dengan mahramnya jauh lebih keji dan menjijikkan dari pada berzina dengan wanita selain mahram.Wallahu a’lam.
Read More

Apakah Memasukan Alat Kedalam Kemaluan Saat Berobat Membatalkan Puasa?

Juni 21, 2017 0
Apakah Memasukan Alat Kedalam Kemaluan
Saat Berobat Membatalkan Puasa?
Oleh: Muhammad Ma’shum

Pertanyaan semacam ini pernah ditanyakan kepada Lajnah Daimah (semacam MUI di Saudi Arabia). Seseorang bertanya, “Jika seorang wanita memasukkan jarinya ke dalam kemaluannya untuk istinjak atau memasukkan saleb atau tablet untuk pengobatan atau seorang dokter perempuan memasukkan jarinya atau sebuah alat kepada pasien wanita untuk mengetahui penyakitnya apakah wajib bagi wanita tersebut mandi? Dan jika terjadi pada siang hari bulan Ramadhan apakah membatalkan puasa dan wajib atasnya mengqodha?

Lajnah Daimah menjawab bahwa hal tersebut tidak menjadikannya wajib mandi janabah dan tidak pula membatalkan puasa. (Fatawa Lajnah ad-Daimah, 5/314-315, nomor fatwa 9881).
Syaikh Musthafa al-‘Adawi ketika ditanya tentang wanita-wanita yang menggunakan WC ala orang eropa yang mana  harus duduk diatasnya ketika buang hajat dan disaat membasuh kotoran  sebagian air masuk kedalam kemaluan mereka. Apakah sebagian air tersebut membatalkan puasa?
Beliau menjawab, “Dahulu para wanita di zaman Nabi juga beristinja dengan air, dan tidak ada riwayat bahwa ada seorang wanita diantara mereka yang batal puasanya karena masuknya sebagian air kedalam kemaluannya. Kemudian hal semacam ini juga bukan termasuk makanan atau minuman, serta bukan pula cara memenuhi syahwat seorang wanita. Hal tersebut juga bukan bagian dari haid dan nifas.” (Musthafa al-‘Adawi, Jami’u Ahkami an-Nisa’, 2/398).
Bahkan Fadhilah Syaikh Muhammad bin Abdu al-Maqsud, menjelaskan suntikan pada dubur dan apa-apa yang diletakkan di dalam kemaluan atau dubur, jalsarin yang dimasukkan ke telinga, bau kemenyan dan bau-bau wangi semuanya ini tidak merusak puasa. (Linnisa’ Faqoth, hlm. 202).
Kesimpulan
Alat yang dimasukkan kedalam kemaluan seorang wanita baik berupa kapsul, salep atau alat-alat lainnya untuk pengobatan atau untuk mengetahui penyakit yang diderita tidak membatalkan puasa. Sebagaimana tidak batalnya puasa saat ia memasukkan air dan jari tangannya kedalam dubur atau kemaluan pada saat beristinjak. Wallahu a’lam.



Read More

Post Top Ad