Hukum Air Kencing Bayi - Majlis Takon

Hot

Post Top Ad

Kamis, 13 April 2017

Hukum Air Kencing Bayi


Hukum Air Kencing Bayi
Oleh: Umar Abdul Aziz

Sebelum membahas masalah air kencing bayi, hendaknya diperinci terlebih dahulu, berapa umur bayi tersebut dan apa jenis kelaminnya. Hal ini dibedakan karena para ulama madzhab berbeda-beda pula dalam menghukumi air kencing tersebut. Berikut perinciannya:



Bayi Yang Sudah Mengkonsumsi Makanan Selain ASI
Para ulama bersepakat bahwa air kencing dari bayi yang sudah mengkonsumsi makanan selain dari ASI, maka hukumnya adalah seperti air kencing orang dewasa. Sehingga dihukumi najis dan untuk menghilangkannya harus dicuci.
Bayi Yang Hanya Mengkonsumsi ASI
Berbeda halnya ketika bayi tersebut hanya makan dari ASI sang ibu, maka ulama berselisih dalam menghukumi kenajisannya. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat bahwa setiap air kencing dan muntahan bayi laki-laki (berumur di bawah  2 tahun) yang tidak makan selain ASI (tidak pula ditahnik dengan kurma ketika lahir), maka cukup diperciki dengan air pada bagian yang terkena kencing. Adapun untuk bayi perempuan, maka harus mencucinya sebagaimana mencuci benda yang terkena najis.
Dalil pendapat ini adalah hadits berikut:
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ يَغْسِلْهُ
“Dari Ummi Qois binti Mihson, bahwasanya beliau datang bersama anak lelakinya yang belum makan makanan kepada Rasulullah. Beliau pun memangku bayi tersebut, kemudian si bayi mengencingi pakaian beliau. Rasulullah hanya meminta air kemudian memercikinya (pakaian yang terkena kencing) dan tidak mencucinya.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian hadits di atas dikhususkan dengan hadits hasan yang diriwayatkan oleh at-Tirmidzi:
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ الْغُلاَمِ
“Air kencing bayi perempuan adalah dengan mencucinya, dan air kencing bayi laki-laki adalah dengan memercikinya.”
Dari kedua hadits diatas, ulama Syafiiyah dan Hanabilah mencukupkan dengan percikan pada tempat yang terkena air kencing bayi lelaki, bahkan Ibnu Hazm dari ulama Dhahiry juga sependapat dengan pendapat ini.
Alasan Dibedakannya Status Air Kencing
Berikut ini alasan dibedakannya hukum dari keduanya, sebagaimana yang dijelaskan oleh Abdullah bin Abdurrahman bin Sholih Alu Bassam dalam Taisir al-Alam Syarhu al-Umdatu al-Ahkam, 1/64-66:
1.   Bayi lelaki memiliki suhu panas yang lebih tinggi dari perempuan, sehingga dapat menguapkan olahan makanan yang hanya berupa ASI. Walhasil, air seni pun tidak terlalu bau (menyengat). Sedangkan perempuan, mereka tidak memiliki suhu panas sebagaimana lelaki, sehingga air seninya lebih bau dan pekat.
2.   Bayi lelaki biasanya lebih disenangi oleh manusia dari pada bayi perempuan, sehingga, lebih sering dibawa. Hal ini menimbulkan kesusahan bagi manusia jika mengharuskan mencuci bekas ompolnya setiap kali bayi kencing. Sehingga, kesusahan ini menimbulkan sebuah kemudahan (المشقة تجلب التيسير).
Namun, sebagian ulama memandang bahwa perkara ini ialah perkara taabbudy (ibadah) yang hikmah darinya tidak bisa diperkirakan oleh akal.
Pendapat lain berasal dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Mayoritas ulama kedua madzhab ini menghukumi najis pada semua air kencing dan muntahan, baik lelaki ataupun perempuan. Sehingga wajib dicuci sebagaimana mencuci benda najis lainnya. Pendapat ini bersandar kepada keumuman sebuah hadits tentang perintah untuk bersuci setelah buang air kecil. Abu Hurairah berkata bahwasanya Rasulullah bersabda:
«اِسْتَنْزِهُوْا مِنَ الْبَوْلِ، فَإِنَّ عَامَةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ»
 “Bersucilah dari air kencing, karena kebanyakan adzab kubur disebabkan karena air kencing.”
Kesimpulan
Menurut Dr. Wahbah Zuhaily dalam Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (1/268) menguatkan pendapat ulama Syafiiyah dan Hanabilah yang mencukupkan dengan memercikkan air pada pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki. Karena, dalil mereka lebih kuat dari pada dalil Hanafiyyah dan Malikiyah yang bersifat umum.

Ulama Malikiyah memang menghukumi najis semua air seni bayi. Namun, terdapat pengecualian, mereka berpendapat jika air seni seorang bayi lelaki dan perempuan yang hanya makan ASI mengenai pakaian ataupun kulit seorang ibu atau pengasuh bayi, maka semua itu adalah perkara yang dimaafkan. Hal tersebut berlaku jika terdapat usaha sebelumnya untuk menghindarinya. Adapun, bila kelihatan kotor disunahkan untuk mencucinya. (Wahbah az-Zuhaily, Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu, hlm. 1/268). Wallahu a’lam bissowab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad