Hukum Air Kencing Bayi
Oleh: Umar Abdul Aziz
Sebelum membahas masalah air kencing bayi, hendaknya diperinci terlebih
dahulu, berapa umur bayi tersebut dan apa jenis kelaminnya. Hal ini dibedakan
karena para ulama madzhab berbeda-beda pula dalam menghukumi air kencing
tersebut. Berikut perinciannya:
Bayi Yang Sudah
Mengkonsumsi Makanan Selain ASI
Para ulama bersepakat bahwa air kencing dari bayi yang sudah mengkonsumsi
makanan selain dari ASI, maka hukumnya adalah seperti air kencing orang dewasa.
Sehingga dihukumi najis dan untuk menghilangkannya harus dicuci.
Bayi Yang Hanya
Mengkonsumsi ASI
Berbeda halnya ketika bayi tersebut hanya makan dari ASI sang ibu, maka
ulama berselisih dalam menghukumi kenajisannya. Ulama Syafiiyah dan Hanabilah berpendapat
bahwa setiap air kencing dan muntahan bayi laki-laki (berumur di bawah 2 tahun) yang tidak makan selain ASI (tidak
pula ditahnik dengan kurma ketika lahir), maka cukup diperciki dengan air pada
bagian yang terkena kencing. Adapun untuk bayi perempuan, maka harus mencucinya
sebagaimana mencuci benda yang terkena najis.
Dalil pendapat ini adalah
hadits berikut:
عَنْ أُمِّ قَيْسٍ بِنْتِ مِحْصَنٍ أَنَّهَا أَتَتْ بِابْنٍ
لَهَا صَغِيرٍ لَمْ يَأْكُلْ الطَّعَامَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَجْلَسَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ فِي حَجْرِهِ فَبَالَ عَلَى ثَوْبِهِ فَدَعَا بِمَاءٍ فَنَضَحَهُ وَلَمْ
يَغْسِلْهُ
“Dari Ummi Qois binti Mihson, bahwasanya beliau datang bersama anak
lelakinya yang belum makan makanan kepada Rasulullah. Beliau pun memangku bayi
tersebut, kemudian si bayi mengencingi pakaian beliau. Rasulullah hanya meminta
air kemudian memercikinya (pakaian yang terkena kencing) dan tidak mencucinya.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Kemudian hadits di atas dikhususkan dengan hadits hasan yang diriwayatkan
oleh at-Tirmidzi:
يُغْسَلُ مِنْ بَوْلِ الْجَارِيَةِ ، وَيُرَشُّ مِنْ بَوْلِ
الْغُلاَمِ
“Air kencing bayi perempuan adalah dengan mencucinya, dan air kencing bayi
laki-laki adalah dengan memercikinya.”
Dari kedua hadits diatas, ulama Syafiiyah dan Hanabilah mencukupkan dengan
percikan pada tempat yang terkena air kencing bayi lelaki, bahkan Ibnu Hazm
dari ulama Dhahiry juga sependapat dengan pendapat ini.
Alasan Dibedakannya Status
Air Kencing
Berikut ini alasan dibedakannya hukum dari keduanya, sebagaimana yang
dijelaskan oleh Abdullah bin Abdurrahman
bin Sholih Alu Bassam dalam Taisir al-Alam Syarhu al-Umdatu al-Ahkam, 1/64-66:
1. Bayi lelaki memiliki suhu panas yang lebih tinggi dari perempuan, sehingga
dapat menguapkan olahan makanan yang hanya berupa ASI. Walhasil, air seni pun
tidak terlalu bau (menyengat). Sedangkan perempuan, mereka tidak memiliki suhu
panas sebagaimana lelaki, sehingga air seninya lebih bau dan pekat.
2. Bayi lelaki biasanya lebih disenangi oleh manusia dari pada bayi
perempuan, sehingga, lebih sering dibawa. Hal ini menimbulkan kesusahan bagi
manusia jika mengharuskan mencuci bekas ompolnya setiap kali bayi kencing.
Sehingga, kesusahan ini menimbulkan sebuah kemudahan (المشقة تجلب التيسير).
Namun, sebagian ulama memandang bahwa perkara ini ialah perkara taabbudy
(ibadah) yang hikmah darinya tidak bisa diperkirakan oleh akal.
Pendapat lain berasal dari ulama Hanafiyah dan Malikiyah. Mayoritas ulama
kedua madzhab ini menghukumi najis pada semua air kencing dan muntahan, baik
lelaki ataupun perempuan. Sehingga wajib dicuci sebagaimana mencuci benda najis
lainnya. Pendapat ini bersandar kepada keumuman sebuah hadits tentang perintah
untuk bersuci setelah buang air kecil. Abu Hurairah berkata bahwasanya
Rasulullah bersabda:
«اِسْتَنْزِهُوْا
مِنَ الْبَوْلِ، فَإِنَّ عَامَةَ عَذَابِ الْقَبْرِ مِنْهُ»
“Bersucilah dari air kencing, karena kebanyakan
adzab kubur disebabkan karena air kencing.”
Kesimpulan
Menurut Dr. Wahbah Zuhaily dalam Fiqhu al-Islam wa Adillatuhu (1/268) menguatkan
pendapat ulama Syafiiyah dan Hanabilah yang mencukupkan dengan memercikkan air pada
pakaian yang terkena air kencing bayi laki-laki. Karena, dalil mereka lebih
kuat dari pada dalil Hanafiyyah dan Malikiyah yang bersifat umum.
Ulama Malikiyah memang menghukumi najis semua air seni bayi. Namun,
terdapat pengecualian, mereka berpendapat jika air seni seorang bayi lelaki dan
perempuan yang hanya makan ASI mengenai pakaian ataupun kulit seorang ibu atau
pengasuh bayi, maka semua itu adalah perkara yang dimaafkan. Hal tersebut
berlaku jika terdapat usaha sebelumnya untuk menghindarinya. Adapun, bila
kelihatan kotor disunahkan untuk mencucinya. (Wahbah az-Zuhaily, Fiqhu
al-Islam wa Adillatuhu, hlm. 1/268). Wallahu a’lam bissowab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar