Hukum Hewan Buruan Yang Didapatkan Dengan Senapan
Angin
Berburu dalam agama Islam diperbolehkan, dan hasil
buruannya boleh dimakan. Akan tetapi, kebolehannya tidak mutlak, tentunya jika
telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Salah satu rukun berburu adalah alat yang
digunakan untuk berburu. Para ulama telah mengklasifikasikan alat yang
digunakan berburu ada dua macam. Pertama, benda-benda yang keras dan
padat seperti pedang, panah, dan tombak. Kedua, hewan, seperti berburu menggunakan
anjing. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/133 ).
Syarat-Syarat Alat yang Digunakan Berburu
Pertama, syarat benda-benda keras yang diperbolehkan untuk
berburu:
1. Harus tajam. Dapat
menembus, melukai, dan memotong daging hewan buruan. Jika tidak maka hewan
buruan tidak halal kecuali jika mampu untuk disembelih sebelum mati. Tidak disyaratkan harus terbuat dari besi,
bisa juga terbuat dari batu maupun kayu asalkan tajam.
2. Harus yakin bahwa
hewan buruan mati terluka karena terkena tajamnya alat yang digunakan berburu.
Karena jika hewan buruan mati bukan karena luka yang disebabkan oleh alat
buruan, maka hewan tersebut mati dalam keadaan bangkai dan haram untuk dimakan.
3. Hanafiyah
menambahkan syarat bahwa alat yang digunakan untuk berburu harus mengenai hewan
buruan secara langsung, tidak boleh terjadi pantulan. Seperti tombak
dilemparkan ke arah pohon agar memantul dan mengenai hewan buruan. (Mausu’ah
al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 28/133 dan Hasyiah Ibnu Abidin, 5/300 ).
Kedua, syarat hewan yang diperbolehkan untuk berburu:
Para ulama telah bersepakat bahwa hewan yang
dibeperbolehkan untuk berburu adalah seluruh jenis anjing yang terlatih selain
anjing hitam. Adapun hewan selain anjing yang terlatih, terjadi perbedaan
pendapat diantara ulama, ada yang membolehkan dan ada pula mengharamkan.
Diantara yang membolehkan adalah ulama madzhab Malikiyah, adapun Imam Mujahid
mengharamkan seluruh hewan selain anjing untuk berburu kecuali burung Elang.
Adapun syarat hewan buruan hanya satu, yaitu harus
terlatih. Hewan dapat dikatakan terlatih apabila dipanggil menjawab, diusir (diganggu) menyerang, digonggongi
menggonggong. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/368).
Ini merupakan gambaran berburu dimasa lampau.
Adapun dimasa kini, mungkin sangat jarang didapatkan orang yang berburu
menggunakan pedang, tombak, maupun panah. Dimasa kini berburu lebih sering
dilakukan dengan menggunakan senapan angin. Lalu pertanyaannya, bagaimanakah
hukumnya dan apakah hasil buruannya halal untuk dikonsumsi?.
Hukum berburu menggunakan senapan angin
Sebelum dibahas hukum berburu menggunakan senapan
angin, perlu ditinjau terlebih dahulu, apakah peluru senapan angin tersebut sesuai
dengan syarat-syarat yang telah dipaparkan diatas, yaitu tajam yang mampu
melukai dan mengoyak daging hewan buruan, serta hewan tersebut mati kerenanya,
atau peluru tersebut tumpul, jika mengenai hewan buruan tidak mengoyak
dagingnya tapi hanya melukai kulit luar hewan buruan karena kerasnya tembakan.
Jika pelurunya tumpul, apabila ditembakkan tidak
menembus daging hewan buruan, akan tetapi hewan tersebut terluka karena
kerasnya benturan peluru, maka para ulama telah bersepakat bahwa hukumnya
adalah haram dan hasil buruannya tidak boleh dikonsumsi kecuali telah
disembelih sembelum mati. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/135).
Lain halnya jika peluru senapan tersebut lancip. Para
ulama telah menjelaskan sebagai berikut.
Pertama, ulama madzab Hanafiyah. Ibnu Abidin menjelaskan,
tidak dihalalkan berburu menggunakan senapan atau batu dan yang sejenisnya
meskipun dapat melukai hewan buruan. Karena hakikatnya luka tersebut hanya pada
bagian luar kulit hewan, tidak menembus ke dagingnya. Apabila ujung pelurunya tajam,
dengannya dapat menembus kulit dan daging, serta melukai hewan buruan, maka hal
tersebut diperbolehkan. (Hasyiah Ibnu Abidin, 5/304).
Kedua, madzhab Malikiyah berpendapat tidak diperbolehkan
berburu menggunakan senapan dan kayu, karena keduanya tidak dapat melukai hewan
buruan, akan tetapi hanya meremukkan. (Hasyiyah ad-Dasuqi, 2/103).
Ketiga, madzhab Syafi’iyyah. Imam an-Nawawi menerangkan
jika berburu dengan sesuatu yang keras dan berat serta tidak tajam seperti senapan
dan pecut (cemeti), maka diharamkan untuk memakan hasil buruannya. (Mughni
Muhtaj, 4/274).
Akan tetapi yang mu’tamad menurut madzhab
Syafi’iyyah adalah jika dapat dipastikan hewan buruan tidak akan mati karena
terkena tembakan, maka diperbolehkan seperti angsa. Akan tetapi jika sudah
dipastikan hewan tersebut pasti akan mati, maka hal tersebut diharamkan seperti
burung pipit.
Jika dicermati seluruh pendapat yang dipaparkan para
ulama, intinya adalah bahwa senapan angin tersebut terpenuhi syarat-syarat
untuk dijadikan alat berburu atau tidak. Jika terpenuhi syarat-syaratnya,
seperti tajam atau lancip, dapat melukai dan menembus daging hewan buruan, maka
dapat dianalogikan dan diperbolehkan digunakan untuk berburu.
Seandainya pun tidak terpenuhi syarat-syarat
sebagai alat berburu, maka hasil buruanya tetap boleh dimakan apabila si
pemburu masih sempat menyembelih hewan buruan yang ia tembak sebelum mati.
Rasulullah ﷺ
bersabda,
وَإِذَا رَمَيْتَ
فَسَمَّيْتَ فَخَزَقْتَ فَكُلْ فَإِنْ لَمْ يَتَخَزَّقْ فَلا تَأْكُلْ وَلا
تَأْكُلْ مِنْ الْمِعْرَاضِ إِلا مَا ذَكَّيْتَ وَلا تَأْكُلْ مِنْ الْبُنْدُقَةِ
إِلا مَا ذَكَّيْتَ
“Apabila kamu melemparnya, kemudian mengenai dan melukainya,
maka makanlah buruan tersebut. Apabila ia tidak terluka maka janganlah kamu
makan kecuali jika kamu sempat menyembelihnya. Begitu pula jangan kamu makan
hasil buruan dengan tembak (senapan) kecuali telah kamu sembelih.” (HR. Ahmad, no. 19411).
Apabila peluru senapan tersebut terbuat dari timah
yang dilontarkan dengan misiu, terjadi perbedaan pendapat pula dikalangan
ulama. Akan tetapi yang lebih kuat dan dirajihkan menurut madzab Hanafiyah dan
Syafi’iyyah adalah diharamkan. Sebagaimana yang diparkan oleh Ibnu Abidin,
bahwa peluru timah yang dilontarkan dengan misiu, hakikatnya adalah membakar
dan keras dengan lontaran misiunya, bukan karena tajamnya. (Mausu’ah
al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/136).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar