Hukum Hewan Buruan Yang Didapatkan Dengan Senapan Angin - Majlis Takon

Hot

Post Top Ad

Rabu, 19 April 2017

Hukum Hewan Buruan Yang Didapatkan Dengan Senapan Angin

Hukum Hewan Buruan Yang Didapatkan Dengan Senapan Angin
Oleh: Fajar Nur Rohim



Berburu dalam agama Islam diperbolehkan, dan hasil buruannya boleh dimakan. Akan tetapi, kebolehannya tidak mutlak, tentunya jika telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya.
Salah satu rukun berburu adalah alat yang digunakan untuk berburu. Para ulama telah mengklasifikasikan alat yang digunakan berburu ada dua macam. Pertama, benda-benda yang keras dan padat seperti pedang, panah, dan tombak. Kedua, hewan, seperti berburu menggunakan anjing. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/133 ).
Syarat-Syarat Alat yang Digunakan Berburu
Pertama, syarat benda-benda keras yang diperbolehkan untuk berburu:
1.     Harus tajam. Dapat menembus, melukai, dan memotong daging hewan buruan. Jika tidak maka hewan buruan tidak halal kecuali jika mampu untuk disembelih sebelum mati.  Tidak disyaratkan harus terbuat dari besi, bisa juga terbuat dari batu maupun kayu asalkan tajam.
2.     Harus yakin bahwa hewan buruan mati terluka karena terkena tajamnya alat yang digunakan berburu. Karena jika hewan buruan mati bukan karena luka yang disebabkan oleh alat buruan, maka hewan tersebut mati dalam keadaan bangkai dan haram untuk dimakan.
3.     Hanafiyah menambahkan syarat bahwa alat yang digunakan untuk berburu harus mengenai hewan buruan secara langsung, tidak boleh terjadi pantulan. Seperti tombak dilemparkan ke arah pohon agar memantul dan mengenai hewan buruan. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 28/133 dan Hasyiah Ibnu Abidin, 5/300 ).
Kedua, syarat hewan yang diperbolehkan untuk berburu:
Para ulama telah bersepakat bahwa hewan yang dibeperbolehkan untuk berburu adalah seluruh jenis anjing yang terlatih selain anjing hitam. Adapun hewan selain anjing yang terlatih, terjadi perbedaan pendapat diantara ulama, ada yang membolehkan dan ada pula mengharamkan. Diantara yang membolehkan adalah ulama madzhab Malikiyah, adapun Imam Mujahid mengharamkan seluruh hewan selain anjing untuk berburu kecuali burung Elang.
Adapun syarat hewan buruan hanya satu, yaitu harus terlatih. Hewan dapat dikatakan terlatih apabila dipanggil menjawab, diusir   (diganggu) menyerang, digonggongi menggonggong. (Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, 1/368).
Ini merupakan gambaran berburu dimasa lampau. Adapun dimasa kini, mungkin sangat jarang didapatkan orang yang berburu menggunakan pedang, tombak, maupun panah. Dimasa kini berburu lebih sering dilakukan dengan menggunakan senapan angin. Lalu pertanyaannya, bagaimanakah hukumnya dan apakah hasil buruannya halal untuk dikonsumsi?.
Hukum berburu menggunakan senapan angin
Sebelum dibahas hukum berburu menggunakan senapan angin, perlu ditinjau terlebih dahulu, apakah peluru senapan angin tersebut sesuai dengan syarat-syarat yang telah dipaparkan diatas, yaitu tajam yang mampu melukai dan mengoyak daging hewan buruan, serta hewan tersebut mati kerenanya, atau peluru tersebut tumpul, jika mengenai hewan buruan tidak mengoyak dagingnya tapi hanya melukai kulit luar hewan buruan karena kerasnya tembakan.
Jika pelurunya tumpul, apabila ditembakkan tidak menembus daging hewan buruan, akan tetapi hewan tersebut terluka karena kerasnya benturan peluru, maka para ulama telah bersepakat bahwa hukumnya adalah haram dan hasil buruannya tidak boleh dikonsumsi kecuali telah disembelih sembelum mati. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/135).
Lain halnya jika peluru senapan tersebut lancip. Para ulama telah menjelaskan sebagai berikut.
Pertama, ulama madzab Hanafiyah. Ibnu Abidin menjelaskan, tidak dihalalkan berburu menggunakan senapan atau batu dan yang sejenisnya meskipun dapat melukai hewan buruan. Karena hakikatnya luka tersebut hanya pada bagian luar kulit hewan, tidak menembus ke dagingnya. Apabila ujung pelurunya tajam, dengannya dapat menembus kulit dan daging, serta melukai hewan buruan, maka hal tersebut diperbolehkan. (Hasyiah Ibnu Abidin, 5/304).
Kedua, madzhab Malikiyah berpendapat tidak diperbolehkan berburu menggunakan senapan dan kayu, karena keduanya tidak dapat melukai hewan buruan, akan tetapi hanya meremukkan. (Hasyiyah ad-Dasuqi, 2/103).
Ketiga, madzhab Syafi’iyyah. Imam an-Nawawi menerangkan jika berburu dengan sesuatu yang keras dan berat serta tidak tajam seperti senapan dan pecut (cemeti), maka diharamkan untuk memakan hasil buruannya. (Mughni Muhtaj, 4/274).
Akan tetapi yang mu’tamad menurut madzhab Syafi’iyyah adalah jika dapat dipastikan hewan buruan tidak akan mati karena terkena tembakan, maka diperbolehkan seperti angsa. Akan tetapi jika sudah dipastikan hewan tersebut pasti akan mati, maka hal tersebut diharamkan seperti burung pipit.
Jika dicermati seluruh pendapat yang dipaparkan para ulama, intinya adalah bahwa senapan angin tersebut terpenuhi syarat-syarat untuk dijadikan alat berburu atau tidak. Jika terpenuhi syarat-syaratnya, seperti tajam atau lancip, dapat melukai dan menembus daging hewan buruan, maka dapat dianalogikan dan diperbolehkan digunakan untuk berburu.
Seandainya pun tidak terpenuhi syarat-syarat sebagai alat berburu, maka hasil buruanya tetap boleh dimakan apabila si pemburu masih sempat menyembelih hewan buruan yang ia tembak sebelum mati.
Rasulullah bersabda,
وَإِذَا رَمَيْتَ فَسَمَّيْتَ فَخَزَقْتَ فَكُلْ فَإِنْ لَمْ يَتَخَزَّقْ فَلا تَأْكُلْ وَلا تَأْكُلْ مِنْ الْمِعْرَاضِ إِلا مَا ذَكَّيْتَ وَلا تَأْكُلْ مِنْ الْبُنْدُقَةِ إِلا مَا ذَكَّيْتَ
“Apabila kamu  melemparnya, kemudian mengenai dan melukainya, maka makanlah buruan tersebut. Apabila ia tidak terluka maka janganlah kamu makan kecuali jika kamu sempat menyembelihnya. Begitu pula jangan kamu makan hasil buruan dengan tembak (senapan) kecuali telah kamu sembelih.” (HR. Ahmad, no. 19411).
Apabila peluru senapan tersebut terbuat dari timah yang dilontarkan dengan misiu, terjadi perbedaan pendapat pula dikalangan ulama. Akan tetapi yang lebih kuat dan dirajihkan menurut madzab Hanafiyah dan Syafi’iyyah adalah diharamkan. Sebagaimana yang diparkan oleh Ibnu Abidin, bahwa peluru timah yang dilontarkan dengan misiu, hakikatnya adalah membakar dan keras dengan lontaran misiunya, bukan karena tajamnya. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwatiyah, 28/136).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad