HUKUM BERBICARA KETIKA BERWUDHU
Oleh: Eko Yulianto
Berbicara ketika
wudhu merupakan suatu hal yang terkadang banyak dilakukan oleh sebagian orang.
Baik karena keperluan atau pun hanya sebatas percakapan singkat dengan orang
lain. Adapun berwudu adalah suatu bentuk ibadah yang dilakukan dengan membasuh
anggota bagian tubuh secara khusus berdasarkan ketentuan tertentu. Oleh karenya
kita perlu memperhatikan hal-hal apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan
ketika berwudhu.
Salah satunya yang terkadang dilakukan ketika berwudhu ialah berbicara. Mengenai hal ini beberapa ulama telah menjelaskan hukumnya. Diantaranya Abi Birkat Ahmah bin Muhammad bin Ahmad ad-Dardir; seorang Ulama Malikiyah menjelaskan bahwa berbicara ketika wudhu selain ucapan dzikir kepada Allah, hukumnya adalah makruh. Imam Tirmidzi meriwayatkan, bahwa ketika Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam berwudhu, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي ذَنْبِي , وَوَسِّعْ لِي فِي دَارِي ,
وَبَارِكْ لِي فِي رِزْقِي , وَقَنِّعْنِي بِمَا رَزَقْتَنِي وَلا تَفْتِنِّي
بِمَا زَوَيْت عَنِّي
“Ya Allah, ampunilah dosaku, lapangkanlah bagiku urusan dunia
dan akhirat, berkahilah rizkiku, cukupkanlah aku atas apa yang telah Engkau
rizkikan kepadaku, dan jangan Engkau jerumuskan aku dari apa-apa yang telah Engkau
jauhkan dariku.” (asy-Syarh ash-Shogir ‘Ala Aqrob al-Masalik Ila Madzab Imam
Malik, 1/127).
Selain itu, Dr.
Wahbah Zuhaili juga menyebutkan bahwa salah satu adab berwudhu ialah tidak
berbicara ketika berwudhu kecuali dalam keadaan darurat (mendesak). Karena hal
itu akan memalingkan seseorang dari doa-doa yang sering diucapkan oleh
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. (al-Fiqh al-Islami Wa Adillatuhu,
1/251).
Adapun menurut
ulama empat madzab, Hanafiyah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa disunahkan untuk
meninggalkan hal itu, keculai ada kepentingan. Sedangkan menurut Malikiyah dan
Hanabilah hukumnya adalah makruh, makruh yang dimaksud oleh Hanabilah hanya
sebatas meninggalkan keutamaan, adapun Malikiyah, hukumnya makruh selain dzikir
kepda Allah. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Quwaitiyah, 43/373).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar