Hukum Qishas Menggunakan Api - Majlis Takon

Hot

Post Top Ad

Sabtu, 15 April 2017

Hukum Qishas Menggunakan Api


HUKUM QISHASH MENGGUNAKAN API
Oleh: Fajar Nur Rohim
Qishash adalah menghukum pelaku kejahatan pembunuhan atau kekerasan fisik berupa pemotongan anggota tubuh atau melukai yang dilakukan secara sengaja, dengan bentuk hukuman yang sama seperti yang diperbuat pelaku terhadap korban.
Pensyariatan qishash merupakan bentuk perhatian Islam terhadap hak seorang hamba secara khusus dan seluruh elemen masyarakat secara umum. Secara pengertian, pelaksanaan qishash seharusnya memang dilakukan sesuai dengan tindakan pelaku terhadap korban, jika pelaku membunuh korban dengan memenggal kepalanya menggunakan pedang, maka hukuman qishash kepada pelaku juga dilaksanakan dengan memenggal kepalanya menggunakan pedang. Akan tetapi, yang menjadi polemik adalah jika pelaku membunuh korban dengan api. Apakah hukuman qishash juga harus dilaksanakan dengan api? Padahal dalam sebuah hadits disebutkan larangan membunuh dengan api.




Perbedaan Pendapat Diantara Para Ulama
Pertama, ulama madzhab Hanafiyyah dan Hambali berpendapat bahwa pelaku pembunuhan tidaklah diqishash kecuali dengan dipenggal kepalanya menggunakan pedang. (Abu Bakar bin Mas’ud al-Kassani, Badai’u al-Shanai’, 7/245 dan Ibnu Qudamah, al-Mughni, 7/675). Argumen mereka adalah hadits:
لا قَوَدَ إِلا بِالسَّيْفِ
“Tidak ada pelaksanaan qishash kecuali dengan menggunakan pedang.” (HR. Ibnu Majah).
Yang dimaksud pedang disini adalah seluruh senjata secara mutlak, bisa berupa pisau ataupun belati. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 33/273).
Kedua, ulama madzhab Malikiyyah dan Syafi’iyah berpendapat terpidana hukuman qishash dieksekusi dengan cara yang sama dengan cara pembunuhan yang ia lakukan terhadap korban. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 6/266). Jika pelaku membunuh korban dengan pedang, maka ia diqishash dengan pedang, jika pembunuhan dilakukan dengan api, maka diqishash dengan api. (Ibnu Rusyd, al-Bidayah wa an-Nihayah, 2/330).
Demikian pula dengan sebagian riwayat madzab Hanabilah bahwa hukuman qishash dilaksanakan dengan cara yang sama dengan apa yang dilakukan pelaku untuk membunuh korban. (Mausu’ah al-Fiqhiyah al-Kuwaitiyah, 33/272). Landasan pendapat mereka adalah firman Allah Ta’ala:
وَإِنْ عَاقَبْتُمْ فَعَاقِبُوا بِمِثْلِ مَا عُوقِبْتُم بِهِ
“Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu.” (QS. an-Nahl: 126).
فَمَنِ اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ فَاعْتَدُوا عَلَيْهِ بِمِثْلِ مَا اعْتَدَىٰ عَلَيْكُمْ
“Barangsiapa yang menganiaya kamu, balaslah ia dengan balasan yang sama dengan penganiayaan yang dilakukan terhadapmu.” (QS. al-Baqarah: 194).
Rasulullah juga bersabda:
مَنْ حَرَقَ حَرَقْنَاهُ وَمَنْ غَرَقَ غَرَقْنَاهُ
“Barangsiapa yang membakar, kami akan membakarnya. Dan barangsiapa yang menenggelamkan, maka kami akan menenggelamkannya.” (HR. al-Baihaqi).
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim juga disebutkan bahwa Rasulullah pernah meremukkan kepala orang Yahudi sebagai bentuk qishash atas pembunuhan yang ia lakukan kepada seorang budak wanita dari Anshar dengan menggunakan batu.
Secara logika, qishash maknanya adalah mumatsalah (kesepadanan) dalam tindakan. Oleh karenanya, qishash harus dilaksanakan terhadap pelaku pembunuhan dalam bentuk yang sama dengan tindakan yang ia lakukan terhadap korban. Yang demikian selaras dengan hikmah disyariatkannnya qishash; mengambil balas dendam; mengobati luka hati wali korban dan meredam amarah mereka. Sedangkan semua hikmah tersebut tidak akan tercapai kecuali jika pelaksanaan qishash harus sepadan dan setara dengan perbuatan yang dilakukan pelaku terhadap korban.
Akan tetapi, apabila wali korban menghendaki pelaksanaan qishash menggunakan pedang,  maka itu diperbolehkan dan lebih utama. Sebagai bentuk keluar dari sesuatu yang masih diperselisihkan menuju kepada sesuatu yang telah disepakati. (Wahbah az-Zuhaili, Fiqhul Islam wa Adillatuhu, 6/266).
Dalam polemik ini, tentunya yang lebih utama adalah mengambil pendapat yang paling sesuai dengan maqashid syari’ah demi tercapainya maslahat dan terhindarnya madharat. Wallahu a’lam.


1 komentar:

Post Top Ad