ilustrasi |
Tidak ada yang mengingkari menyalurkan daging kurban
dalam keadaan mentah atau segar. Namun dalam kasus menyalurkan daging kurban
setelah di jadikan makanan terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama.
Pendapat yang pertama
Tidak boleh sebagaiman zakat fitri tidak boleh di salurkan dalam bentuk
roti. Ini merupakan pendapat mazhab syafii. Dengan hujjah di kiyaskan kepada
penyaluran zakat fitri. Yang mana zakat fitri tidak boleh di di saluran
berbentuk roti namun harus dengan gandum.
Imam nawawi menukil perkataan Ar-Ruyani dalam al-Majmu’:
لا يجوز أن يدعو الفقراء ليأكلوه مطبوخا لأن حقهم في
تملكه فإن دفع مطبوخا لم يجز بل يفرقه نيئا فإن المطبوخ كالخبز في الفطرة
“tidak boleh mengundang orang-orang miskin untuk
memakannya (daging udhiyah) dalam kondisi sudah di masak, karena hak mereka
orang miskin adalah memilikinya maka jika daging kurban tersebut di serahkan
dalam kondisi sudah di masak maka tidak boleh, akan tetapi membagikannya dalam
kondisi mentah, karena daging yang sudah di masak sebagaimana hukum roti dalam
zakat fitrah.” (an-Nawawi, al-Majmu’ Syarhu al-Muhadzdzab, vol.8,
hlm.415)
Begitu juga Syaikh al-Utsaimin lebih menganjurkan agar
penyaluran daging kurban dalam bentuk daging segar tidak dimasak. Beliau
mengatakan:
إن الإهداء والصدقة إنما يكون في اللحم النيء دون المطبوخ، وهذا
سهل
“hadiyah dan sedekah hewan kurban, dalam bentuk daging
segar/mentah tidak dalam bentuk telah dimasak, dan ini merupakan perkara yang
mudah.” (Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Majmuk Fatawa wa Rasail, vol.25,
hlm.132)
Pendapat kedua
Boleh, dalam fatwa Lajnah Daimah di sebutkan:
والأمر في توزيعها مطبوخة
أو غير مطبوخة واسع، وإنما المشروع فيها أن يأكل منها، ويهدي، ويتصدق.
“ Perkara membagikan daging kurban dengan cara dimasak atau
tidak itu perkara yang luas (artinya boleh dimasak boleh tidak), akan tetapi
yang di syariatkan adalah makan daging kurban, menghadiakannya dan
mensedekahkannya.” (Fatawa Lajnah Daimah, vol.11, hlm.394)
Pendapat ini mengkiyaskan penyaluran qurban dengan
penyaluran daging aqiqah, yang mana daging aqiqah boleh di salurkan dalam
kondisi sudah dimasak.
Sebagaimana imam ibnu Qudamah menjelasakan dalam
Al-Mughni,
وسبيلها في الأكل والهدية والصدقة سبيلها
Cara pelaksanaan
untuk makan, hadiah dan di sedekah dalam daging aqigah sama dengan udhiyah.
Kemudian beliau menukil perktaan ibnu sirin
اصْنَعْ
بِلَحْمِهَا كَيْف شِئْت
“Lakukan sesukamu terhadap daging aqiqa/ kurban”. (Ibnu
Qudamah, al-Mughni, vol.11, hlm.120)
Selain mengkiyaskan udhiyah dengan aqiqah kelompok yang
membolehkan juga berhujjah dengan firman Allah:
فَكُلُوا
مِنْها وَأَطْعِمُوا الْبائِسَ الْفَقِيرَ
“makanlah dari daging udhiyah dan berimakanlah orang yang
sengsara dan miskin.” (QS.Al-Hajj:28)
Mereka mengatakan bahwa Allah memerintahkan untuk memberi
makan orang miskin dari daging udhiyah dalam ayat ini bersifat umum, sehingga
ayat tersebut dihukumi berdasarkan keumumannya karena tidak ada dalil yang
mentakhsisnya. Sehingga boleh di salurkan dalam kondisi segar atau sudah di
masak, karena metode penyalurannya dalam ayat tersebut bersifat umum.
Kesimpulan:
Bahwa cara atau metode penyaluran daging udhiyah
merupakan ranah permasalahan khilafiyah, ada yang mengatakan penyalurannya
harus berupa daging mentah atau segar dan ada yang berpendapat bahwa ini
merupakan perkara yang longgar bisa disalurkan berbentuk daging segar ataupun
sudah berbentuk masakan.
Namun lebih utama untuk menyalurkannya berupa daging
segar, karena setiap orang berhak memasak daging udhiyah tersebut sesuai
seleranya, dan juga ia bisa menyimpannya lebih lama untuk kebutuhan jangka yang
agak lama atau menjualnya. Dan cara penyaluran semacam ini merupakan cara yang
dilakukan oleh sahabat Ali bin Tholib, dan kita dianjurkan untuk mengikuti
sunah-sunah khulafa ar-Rasyidin sebagaimana yang telah di jelaskan oleh
Rasulullah.
عَنْ نَاعِمٍ مَوْلَى أُمِّ سَلَمَةَ
أَنَّهُ حَضَرَ عَلِيًّا بِالْكُوفَةِ يَوْمَ أَضْحَى، فَخَطَبَ ثُمَّ نَزَلَ،
فَاتَّبَعْتُهُ، فَدَعَا بِتَيْسٍ فَذَبَحَهُ، فَذَكَرَ اسْمَ اللَّهِ ثُمَّ
قَالَ: عَنْ عَلِيٍّ وَعَنْ آلِ
عَلِيٍّ، ثُمَّ لَمْ يَبْرَحْ حَتَّى قَسَّمَ لَحْمَهُ فَفَضِلَ مِنْهُ شَيْءٌ
فَبَعَثَهُ إِلَى أَهْلِهِ.
“Dari Naim budaknya Ummu Salamah bahwa ia mendatangi Ali
pada hari idul adha, maka Ali berkhutbah kemudian turun. Maka saya (Naim)
mengikutinya lalu beliau memerintah untuk mendatangkan kambing hutan lalu
menyembelehnya, beliau menyebut nama Allah kemudian mengatakan, ‘dari Ali dan
keluarga Ali. Kemudian beliau tidak meninggalkan tempat sampai beliau
membagikan daging tersebut dan menyisakan sedikit darinya lalu mengirimkannya
ke keluarga beliau.” (Yahya bin Salam bin Abi Tsa’labah, Tafsir Yahya bin
Salam, vol.1, hlm.366)
Atsar ini menunjukkan bahwa Ali menyalurkan daging
tersebut dalam kondisi mentah, karena beliau tidak pergi dari tempat
penyembelihan tersebut sebelum membaginya. Dan tidak mungkin Ali memasak daging
tersebut di tempat penyembelehan. Wallahu a’lam bish shawab. (Muhammad Ma’shum)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar